Drama ialah salah satu bentuk karya sastra yang dipentaskan sama seperti pertunjukan teater. Seiring perkembangan zaman, naskah drama pun ikut berkembang mengikuti perkembangan zamannya. Dewasa ini, banyak tema baru muncul akibat dari kemajuan teknologi yang semakin berkembang pesat. Namun, tak sedikit juga ada penulis yang masih ingin mengangkat tema lama seperti masa revolusi berlangsung, zaman dimana para PKI di Indonesia dimusnahkan. Salah satunya yakni naskah drama "Balada Sumarah karya Tentrem Lestari" Naskah yang mengangkat cerita tentang kehidupan kelam seorang wanita yang ayahnya dituduh seorang PKI ini menyimpan banyak sekali cerita duka didalamnya. Tentrem lestari sebagai penulis naskah ini merupakan salah satu senimal lokal yang tergabung dalam komunitas seni Mendut Institut, serta sebagai pegiat Festival Kilometer Nol, Yogyakarta.
Kembali ke topik pembahasan, naskah drama ini lebih dikategorikan sebagai sebuah drama monolog, dimana satu orang membawakan beberapa peran. Dalam naskah drama "Balada Sumarah" ini penulis dapat menangkap adanya aspek psikologis seperti id, ego, dan superego yang tinggi dalam pengkarakteran tokoh utama di dalam naskah. Aspek psikologis yang pertama yakni dorongan id pada diri Sumarah ditandai ketika Sumarah kemudian ingin tahu tentang latar belakang keluarganya setelah apa yang kenimpanya sejak duduk dibangku sekolah, kemudian ingin menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS), ingin menjadi istri Mas Edi, dan ingin membunuh majikannya. Aspek psikologis yang kedua yakni respons ego yag muncul dalam diri Sumarah ketika ia meminta surat bersih sebagai syarat untuk menjadi PNS, dan ketika ia membunuh majikannya. Kemudia yang terakhiryakni respon superego yang muncul ketika Sumarah mempertimbangkan untuk menjadi PNS, tidak bekerja lagi tempat Ibu Jumiarti dan ketika Sumarah mempertanggungjawabkan kesalahannya sebagai tersangka pembunuhan.
Berdasarkan kepribadian Sumarah, dapat ditarik kesimpulan bahwa tidak ada keseimbangan antara id, ego dan superego yang dialami Sumarah. Sumarah cenderung mementingkan prinsip kenikmatan daripada aspek sosiologis yang berkembang di masyarakat, sehingga terjadi ketegangan di dalam diri atau kepribadian Sumarah. Dari penjabaran analisis penokohan Sumarah oleh penulis, dapat dilihat bahwa Sumarah bukanlah seseorang dengan kepribadian sanguinis, tipe kepribadian yang berwatak periang dan menyenangkan (Suryabrata, 2002:13). Selain itu, Sumarah juga bukanlah orang yang mampu mengungkapkan segala perasaanya kepada sembarang orang. Juga, Sumarah bukanlah tokoh yang memiliki kepribadian koleris tipe kepribadian yang berdaya juang besar, pemberani, dan berkemauan keras (Suryabrata, 2002:13) dan plegmatis tipe kepribadian yang berwatak tenang, santai, dan sabar (Suryabrata, 2002:13). Dengan begitu, Sumarah memiliki kepribadian sebagaimana orang melankolis. Seperti halnya manusia, tokoh-tokoh dalam sebuah kisahan pun memiliki banyak sifat.
Kemudian dari kalan cerita dalam naskah ini, selayaknya pementasan drama yang memiliki alur cerita, naskah ini pun memiliki alurnya sendiri, menggunakan model plot Checov's Gun yang memberikan clue di awal sebagai petunjuk akhir bagaimana cerita berakhir. Cerita dalam naskah ini pun demikian, simana di awal cerita, sudah dijelaskan dimana Sumarah saat itu berada dan apa yang akan terjadi padanya, yakni hukuman mati karena membunuh. Alur yang menarik untuk sebuah pementasan, karena benang merah cerita sudah dijelaskan di awal, dan penonton hanya perlu menikmati cerita yang akan dipertunjukan.
Karakter Sumarah, sebagai wanita tanggung yang kuat menghadapi segala cobaan hidupnya, menggambarkan bagaimana hidup memang tak selalu tentang iya iya saja. Ada saat dimana hak milik kita dirampas, maka kita harus memeranginya walau nyawa jadi taruhannya. Seperti yang sudah dijelaskan di atas, Sumarah bukanlah tipe orang yang suka melawan, ia cenderung memilih diam saat ada orang yang mencelanya, tapi saat harga dirinya dirampas dengan diperkosa oleh majikannya, maka saat itu juga ia harus memperjuangkannya.
Naskah drama Balada Sumarah karya Tentrem Lestari ini sangat penulis anjurkan untuk dibaca, diresapi dan dipertunjukkan ulang. Sudah selayaknya kita sebagai warga negara yang baik, harus ikut melestarikan berbagai bentuk kesusastraan ditanah air tercinta kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H