2.1. Sosialisasi Nilai Pancasila
Pada era Orde Baru, secara formal pemerintah menyosialisasikan nilai-nilai Pancasila melalui TAP MPR NO II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) di sekolah dan di masyarakat. Siswa, mahasiswa, organisasi sosial, dan lembaga-lembaga negara diwajibkan untuk melaksanakan penataran P4. Selaian sosialisasi nilai Pancasila dan menerapkan nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa, dalam kegiatan penataran juga disampaikan pemahaman terhadap Undang-Undang Dasar 1945 dan Garis Besar Haluan Negara (GBHN).
2.2. Pancasila, Nilai Ketuhanan dan Kemanusiaan
Menyosialisasikan nilai-nilai Pancasila tidak hanya dilakukan dengan berbicara, namun juga dengan contoh, dengan gaya hidup manusia Pancasila. Pada aras pendidikan, semua guru, dosen, widyaiswara, pelatih, mampu menerapkan nilai-nilai Pancasila, khususnya nilai Ketuhanan dan nilai Kemanusiaan. Pertama, pada aras ketuhanan, manusia Indonesia selalin mencintai Tuhan, juga sanggup mencintai sesama tanpa memandang suku, agama, ras, dan golongan. Butir sila Ketuhahan Yang Maha Esa (1) hormat dan menghormati serta bekerjasama antara pemeluk agama dan penganut-penganut kepercayaan yang berbedabeda sehingga terbina kerukunan hidup; (2) saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing, dan (3) tidak memaksakan suatu agama atau kepercayaannya kepada orang lain, nampaknya masih sebatas retorika.Pelarangan pendirian tempat ibadah, pemaksaan kehendak seperti menutup usaha di bulan puasa, bahkan memaksakan kehendak dengan kekerasan yang dilaksanakan orang yang mengatasnamakan agama, tentu bertentangan dengan niai-nilai Pancasila seperti yang disebutkan di atas.
2.3. Mendahulukan yang Miskin
Menurut Prof. Dr.Sajogyo, pakar Gizi dari IPB, untuk melakukan aktivitas orang minimal harus mengkonsumsi 2.200 kalori yang dipersyaratkan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan. Walaupun sudah ada provinsi yang dapat mencapai pemenuhan kalori tersebut, ternyata di Pulau Jawa baru 1700-1800 kalori per kepala/hari.1. Pemenuhan kalori seperti tesebut di atas, tentu tidak mudah diwujudkan oleh daerah-daerah miskin yang kurang memiliki infrastruktur pemberdayaan masyarakat. Sebagai contoh, Jakarta memiliki taksiran penduduk yang tidak bisa memenuhi Kebutuhan Fisik Minimum (KFM) lebih dari 26% dan Ambon lebih dari 93%.2 Dampak ketidakmampuan memenuhi kebutuhan fisik minimum berdampak pada kecerdasan dan rednahnya daya saing bangsa di forum internasional.
Dalam keadaan negara yang terpuruk berkait dengan bencana dan kebijakan yang tidak memihak rakyat, apa yang mesdi dilakukan negara? Bagaimana negara berpihak dalam pilihan cinta mendahulukan orang miskin?. Bagaimana gerakan masyarakat dalam membantu penderitaan orang miskin? Bagaimana keterlibatan negara dalam memerangi kemiskinan?
Persoalan utama yang dihadapi bangsa Indonesia adalah masih banyaknya orang miskin. Kemiskinan yang mutlak memiliki variabel ikutan seperti buruknya kesehatan dan pada akhirnya menyebabkan lemahnya kecerdasan. Dengan bahasa yang sederhana dapat dikatakan bahwa orang miskin yang tidak dapat memenuhi makan dengan baik akan menyebabkan kesehatannya buruk, dan ketika kesehatannya buruk ia tidak dapat berpikir dengan prima yang menyebabkan kebodohan.
2.4. Pancasila dalam Perspektif Teologis Pemberdayaan Orang Miskin
Refleksi pembangunan Kerajaan Allah dengan menanggulangi kemelaratan, khususnya mereka yang miskin mutlak, muncul pertanyaan siapa saja orang miskin yang mendapat prioritas untuk didahulukan.7
1. Menurut Kitab Perjanjian Lama (PL), Allah memperhatikan, melindungi, dan membela orang miskin yang malang. Terdapat kelompok anawim, kaum miskin yang hanya mengandalkan Allah saja. Sikap pasrah, sikap mengandalkan dan mempercayakan hidupnya kepada Allah saja, tidak terlepas dari kemiskinan dan penderitaan nyata yang mereka alami. Mereka adalah yang miskin secara material, fisik.
2. Menurut Kitab Perjanjian Baru (PB), kaum miskin yang dihadapi Tuhan adalah orangorang miskin secara fisik, ekonomi, sosial, politik dan religius. Orang miskin yang dimaksud bangsa yang dijajah dan ditindas oleh penjajah, mereka yang sakit dan kaum marjinal yang tidak diikutsertakan dan tidak mempunyai suara dalam kehidupan politik.Tuhan datang membawa alternatif kehidupan baru, agar segala jenis kemiskinan diatasi. Gambaranb di atas juga sedang dan dialami orang miskin di Indonesia. Pemanusiaan orang miskin bergayut dengan nilai-nilai ketuhanan yang dialami umat beragama di Indonesia. Adalah bertentenagan dengan nilai Ketuhanan yang Maha Esa, ketika orang berpunya menyaksikan orang miskin, tetapi tidak mampu berbagi, dan berbelarasa kepada mereka.
2.5. Aksi terhadap Kemiskinan
Dalam konteks keadilan sosial nsikap memperkaya diri, bahkan kegiatan korupsi yang marak pascareformasi ini bertentangan dengan nilai keadilan sosial seperti bersikap adil terhadap sesama, menghormati hak-hak orang lain, menolong sesama, menghargai orang lain, melakukan pekerjaan yang berguna bagi kepentingan umum dan bersama.
Beberapa aksi yang dapat dilakukan oleh JB Banawiratma, adalah adanya visi terwujudnya Kerajaan Allah, daya kuasa Allah yang penuh bela rasa,, yakni kuasa kebenaran dan cinta kasih, keadilan, dan damai, suka cita, dan persaudaraan semua orang. Dalam konteks kerajaan Allah melawan anti-kerajaan Allah atau Allah melawan Mamon, Tuhan memihakmereka yang menjadi korban, kaum miskin, dan menderita..11
2.6. Refleksi Teologis Mendahulukan Orang Miskin
Munculnya disharmoni antariman yang selama ini dirasakan adalah keridakmampuan memahami dan merasakan pengalaman religius lain dan berusaha untuk meningkatkan toleransi dan kerjasama. Menggunakan alat musik lengkap yang keras dan bising di lingkungan yang tenang misalnya, dapat mengudang reaksi protes kalau peserta ibadah tidak memahami konteks beribadah. Kepedulian warga masyarakat terhadap lingkungan sosialnya pada akhirnya dapat menciptakan dialog dan kerjasama dalam memerangi kemiskinan dan pembodohan.
Sudah seharusnya masyarakat sanggup berkorban. Keikutsertaan dalam kegiatan masyarakat dalam kerja bakti, ronda malam, dan "mbangun desa" merupakan bentuk sosialisasi yang tidak terpisahkan dari komunitas. Masyarakat berpunya dapat memberi pelayanan kepada masyarakat miskin dengan membagi-bagi berkat dalam kegiatan keagamaan dengan pemberian sembako, pelayanan kesehatan, bakti masyarakat, bahkan keterlibatan warga dalam berbagai persoalan di masyarakat seperti pendidikan dan kesehatan. Mereka yang sakit diberi obat. Mereka yang kekurangan makan diberi makanan. Mereka yang tidak pernah ganti baju diberi pakaian. Mereka yang tidak bisa sekolah diberi beasiswa. Mereka yang tidak memiliki tempat tinggal diberi tumpangan. Jika hal itu dilakukan, masyarakat dapat berjalan tanpa harus dipaksa berjalan.
2.7. Implementasi Pancasila melalui Pendidikan Karakter
Pengembangan pendidikan karakter yang selaras dengan pendidikan moral pancasila, paling tidak mengandung 13 nilai dasar seperti jujur, bertanggung jawab, dapat dipercaya, peduli, berintegritas, rajin, hati-hati, taat, pengampun, teratur, menghargai orang lain, bekerjasama, dan bersahabat. Ketiga belas karakter utama tersebut tidak dapat berdiri sendiri dan saling bergubungan antar karakter yang satu dengan yang lain. Orang yang jujur biasanya bertanggung jawab, dan berintegritas. Orang yang rajin pasti teratur, dan dapat dipercaya. Orang bisa menghargai orang lain pasti bisa bekerjasama.
Beberapa hal karakter negatif yang harus dihindari adalah marah tanpa alasan, pendendam, irihati, egois, dan sombong. Kelima karakter negatif tersebut harus dieliminir sejak dini dalam pendidikan yang dapat dilakukan di keluarga, di sekolah, dan di masyarakat.
2.8. Cara Pengembangan Karakter bernilai Pancasila
Ada berbagai cara membangun karakter baik yang dilakukan di sekolah maupun di luar sekolah.
Pertama, dengan mengenalkan karakter tokoh yang ada dalam Kitab Suci. Melalui tokohtokoh dalam Kitab Suci, anak dapat belajar karakter keimanan, ketaqwaan, kesetiaan, kejujuran, kedisiplinan, keluhuran budi, dan kesucian dsb.
Kedua, dengan pembelajaran dari cerita rakyat. Tokoh Malin Kundang, Mitos Tangkuban Perahu, Bandung Bondowoso dan Roro Jonggrang, Roromendut dan Pronocitro, Putri Salju, Juwita dan Sirik, Ande-Ande Lumut, Inu Kertapati dan Galuh Candra Kirana dsb. Melalui cerita rakyat, anak dapat mencontoh tokoh-tokoh baik dan menghindarkan diri dari tokoh jahat.
Ketiga, dengan mengenalkan tokoh lokal, regional, nasional, dan internasional melalui biografi dan autobiografinya. Mengenalkan Bung Hatta dengan kesahajaannya, Mengenalkan Jendral Sudirman dengan perjuangannya bersama rakyat. Mahatma Gandhi, Nelson Mandela, Bunda Teresa. Mengenalkan Tjut Nyak Dien, R.A.Kartini. Christina Martha T, Imam Bonjol, Pangeran Dipanegara,dsb. Dengan mengenalkan tokoh-tokoh siswa dapat belajar keteguhan hati, permaafan, pengorbanan, dst.
Keempat, belajar dari kehidupan sehari-hari. Kisah tukang sampah, tukang pasir, PRT, PSK, sopir, nakoda, pilot, tukang bangunan, buruh tani, buruh pabrik dsb. Belajar dari kerja keras orang-orang marjinal untuk menghayati arti kerja keras golongan rakyat bawah.
Kelima, belajar dari media massa. Tayangan televisi Reality show seperti Andaikan Aku Menjadi, Tolong, jejak Petualang, dll, dapat mengasah kepekaan karakter. Membaca rubrik konsultasi psikologi, membaca features tokoh dalam Surat kabar dan majalah dapat menambah indikator karakter.
Keenam, laksanakan pendidikan karakter sesuai dengan konteks budayanya. Misalnya, tradisi lahir, perkawinan, kematian dalam tradisi suku, ritual dan budaya dalam konteks budaya.
Ketujuh, pantau terus pendidikan karakter oleh orang tua. Pemantauan dilakukan baik di sekolah dengan berinteraksi dengan pamong sekolah, di luar sekolah dengan mengetahui Peer group atau kelompok bermain dan kegiatannya. Anak baik dengan karakter baik akan menjadi anak jahat bila ada di lingkungan jahat.
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Mempraktikkan nilai ketuhanan dan kemanusiaan Pancsila dalam pemberdayaan orang miskin, selain dilakukan secara formal di pendidikan formal, informal, dan nonformal, juga diformulasikan dalam praktik berbangsa dan bernegara. Pada aras sosialisasi Pancasila, perlu penekanan lebih dalam praktik berbangsa dilaksnakan dalam pendidikan seperti yang telah dirumuskan oleh para pendiri bangsa. Setikaknya setiap warga negara mengerti dan mempraktikkan nilai dasar ketuhahan, kemanusiaan, dan persatuan Indonesia.
Mendahulukan orang miskin, selain bedimensi ketuhanan dan kemanusiaan, juga merupakan praktik belarasa, berbagi kasih kepada saudara kita yang tertimpa kemiskinan, yang disebabkan oleh ketikdakadilan. Program-program Charity yang dilakukan lembaga amal, sekolah, kampus, organisasi agama dan organisasi sosial, bukan hanya berperan sebagai sinterklas yang membagi hadiah, namun juga mampu memberdayakan orang miskin untuk mandiri.
Mempraktiikan nilai-nilai Pancasila, memerlukan karakter manusia Indonesia yang jujur, bertanggung jawab, dapat dipercaya, peduli, berintegritas, rajin, hati-hati, taat, pengampun, teratur, menghargai orang lain, bekerjasama, dan bersahabat. Mampu menjadi manusia yang pengasih, pendamai, sabar, murah hati, baik, setia, lemah lembut, dan dapat mengusasi diri. Dapat menghindari marah tanpa alasan, pendendam, irihati, egois, dan sombong. Jika itu semua dilakukan melalui pendidikan yang baik di keluarga, di sekolah, di masyarakat oleh orang-orang yang baik, ke depan Indonesia akan menuai masyarakat maju dan modern yang tidak lepas dari nilai Pancasila yang sudah dirumsukan oleh pendiri bangsa.
DAFTAR PUSTAKA
Bagong Suyanto, Kermiskinan dan Kebijakan Pembangunan, Yogyakarta: Aditya Media, 1996
Banawiratmam, JB dan Muller, Berteologi Sosial Lintas Ilmu: Kemiskinan Sebagai Tantangan Hidup Beriman, Yogyakarta: Kanisius, 1993.
Banawiratma, SJ, 10 Agenda Pastoral Transformatif: Menuju Pemberdayaan Kaum Miskin dengan Perspektif Adil Gender, HAM, dan Lingkungan Hidup, Yogyakarta: Kanisius, 2002.
Banawiratma, JB, "Teologi Fungsional-Kontekstual" dalam Konteks Berteologi di Indonesia(Eka Darmaputera, Editor), Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997.
Brownlee, Malcolm, Tugas Manusia dalam Dunia Milik Tuhan: DasarTheologis bagi Pekerjaan Orang Kristen dalam Mayarakat, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1987.
Tjondronegoro, Soediono M.P., "Dinamika Golongan lemah Pedesaan: Refleksi atas Karya Tulis dan Pemikiran Dr. Sajogyo" dalam Memahami dan Menanggulangi Kemiskinan di Indonesia. Jakarta: Grasindo, 1996.
White, Benjamin, "Optimisme Makro, Pesimisme Mikro? Penafsiran Kemiskinan dan Ketimpangan di Indonesia 1967 -- 1987. dalam Memahami dan Menanggulangi Kemiskinan di Indonesia. Jakarta: Grasindo, 1996.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H