Lihat ke Halaman Asli

Rikho Kusworo

Menulis Memaknai Hari

Menunggu Matahari

Diperbarui: 26 Juni 2017   09:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Gunung Ungaran tak nampak dari balkon mungilku.Mendung menyapu wajah indahnya. Bergeming. Hanya semilir angin yang merambat menelusuri pintu yang terbelah oleh dua lenganku.

" Aku pernah punya salah padamu. I did something wrong that may cause you a pain one day in the past. Maafkan lahir dan batin" kataku

Kalimat itu menagih takdirnya.Sebuah naluri yang keluar layaknya air seni yang menolak lama tersimpan.

Tak terhitung kata fitri terlontar oleh mulut dan jemari.

Walau terlisan kadang suasana batin alpa hadir menyertainya.

Matahari menyengat titik titik air dan mengusir mendung yang menggelantung.Berangsur angsur gunung itu menampakkan megahnya.

Matahari tulus bersinar tanpa diminta penghuni bumi.Matahari tetap bersinar di keesokan hari. 

Seolah menunggu matahari hingga kata maaf yang fitri itu terucap ikhlas.

Dialah yang akan melelehkan mendung keangkuhan yang bergantung menutupi indahnya ketulusan dan keikhlasan untuk mengucapkan kata "maafkan aku,aku pernah punya salah kepadamu"




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline