Lihat ke Halaman Asli

Rikho Kusworo

Menulis Memaknai Hari

Mengapa Harus Mencoblos?

Diperbarui: 24 Juni 2015   00:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1396464216897744852


Kotak suara adalah sebuah harapan masa depan, bukan semata mata soal hitungan kalah menang.Setelah bergulir masuk ke kotak suara, hak pilih (vote) menjadi sesuatu hal yang abstrak.Tak satu pun yang bisa memastikan nasib hak pilih (vote) di dalam sebuah kotak suara. Namun demikian dengan mengunakan hak pilih setidaknya kita sudah berusaha menggerakkan segenap kekuatan ke arah kontribusi positif untuk sebuah perubahan. Vote is the hope of our country.

Seorang sahabat menulis barisan kalimat di atas sebagai jawaban atas pertanyaan saya “ Mengapa Kamu Harus Mencoblos”. Sahabat ini, sebutlah Lilik, sejak seminggu yang lalu terlihat resah karena dia belum mendapatkan surat panggilan untuk mencoblos.

Sejak hampir dua tahun yang lalu Lilik tinggal dan bekerja di sebuah kota di Jerman. Kuat sekali niat Lilik untuk mencoblos. Melalui surat elektronik, Lilik bahkan melakukan tindak lanjut kepada pihak pihak terkait di Jerman perihal surat undangan pencoblosan yang belum diterimanya. Pada hari Senin, 31 Maret 2014 akhirnya Lilik berhasil mencoblos.

“ He he..sudah nyoblos..akhirnya” tulis Lilik melalui piranti chatting Senin, 31 Maret 2014 pukul 17.53 WIB.

Sejak lulus kuliah Lilik bekerja sebagai seorang software developer. Sebelum menetap di Jerman, Lilik pernah tinggal dan bekerja selama beberapa tahun di Singapura.

Saya menanyakan “Mengapa Kamu Harus Mencoblos” kepada Lilik sebatas ingin mengetahui cara pandang dan sikap politik orang Indonesia yang cukup lama menetap di luar negeri.

Lilik menjawab pertanyaan dengan pertanyaan,” Pernah punya rasa tidak punya identitas?”

“ Belum, saya belum pernah merasakan tinggal dan menetap di manca negara” jawab saya.

Atas pertanyaan saya tentang mengapa harus moncoblos, Lilik menjabarkan alasan dirinya menggunakan hak pilih di sela sela kesibukannya mencari sepiring (bukan sesuap) nasi di Jerman.

Menurut Lilik menggunakan hak pilih merupakan bagian dalam menunjukkan identitas. Sedangkan identitas itu sendiri merupakan kebutuhan manusia.

Menyimak penuturannya tentang identitas ini saya pun menyanggah,”Tanpa harus mencoblos pun kamu tetap beridentitas Indonesia yang diakui keahlianmu oleh orang Jerman, lantas apa korelasinya identitas dan mencoblos?”

Lilik menegaskan bahwa identitas sebagai orang Indonesia lah yang menghantar nuraninya untuk ikut prihatin dengan kondisi pada tanah air. Menggunakan hak pilih merupakan bagian dari kontribusinya terhadap suatu perubahan yang diidamkan.

Ketika saya menanyakan kepada Lilik apakah dirinya bangga sebagai warga negara Indonesia, Lilik menjawab “Ya” dan “Tidak”. Lilik bangga sebagai warga Negara Indonesia manakala mendapati bahwa humanisme dan budaya Indonesia itu khas. Menurut Lilik budaya komunal di Indonesia bersifat alamiah, tidaklah harus terwujud dalam tendensi formal.

“ Misalnya aku ke Semarang, kemudian kamu bilang ‘mampirlah Lilik ke rumahku, yuk makan bareng’..itu sesuatu yang khas dan sesuatu banget” tulis Lilik menjelaskan.

Di lain pihak Lilik menambahkan dirinya sama sekali tidak bangga menjadi warga Negara Indonesia manakala menemukan fakta mengapa dengan 240 juta penduduk Indonesia, terkesan sulit sekali menciptakan suatu sistem demi sebuah masa depan yang lebih baik sebagai sebuah bangsa.

“Tidak ada yang istimewa dari orang Singapura dan Jerman. Mereka bisa menjadi masyarakat maju karena mereka mempunyai keinginan untuk menganut sebuah system aturan dan mempercayai system tersebut” demikian kata Lilik memberikan perbandingan.

Lilik mengatakan bahwa semuanya harus dimulai dari diri sendiri. Jangan pernah berpikir bahwa hak pilih merupakan hal sia-sia yang tak akan mampu merubah keadaan. Lilik pernah mengisyaratkan bahwa seburuk buruknya pilihan pastilah ada pilihan yang terbaik diantara yang terburuk.

Sebuah pelajaran berharga dari seorang sahabat. Dalam perenungan saya berbisik, hak pilih itu memancarkan sebuah kecintaan pada tanah air.

Bagi Komodor US Navy Stephen Decatur 1820 Right Or Wrong Is My Country. Namun saya teringat WS Rendra ketika memparodikan pernyataan ini dengan mengatakan What Wrong Is Wrong But I Love My Country.

Ditulis Rikho Kusworo selesa jam 1.30 Dini Hari 3 April 2014.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline