Tadi malam, saya mendapatkan kabar yang menggembirakan dari salah satu teman akhwat. Ukhti Tatik, salah satu teman ngaji Tahsin di Masjid Mujahidin Madiun, akan segera menikah. Kaget sekaligus senang sekali mendengarnya. Kabar itu saya dapatkan disela kajian “Kisah Cinta Penyejuk Jiwa” yang diselenggarakan di Masjid Mujahidin Madiun.
Berawal ketika Ustadz Hafidz, sang pemateri membuka kajian, saya dan Ukhti Tatik membagikan air mineral untuk para akhwat yang hadir. Selesai itu, saya dan Ukhti Tatik duduk di belakang, persiapan mendengarkan kajian.
Kajian dimulai, tiba-tiba Ukhti Tatik berbisik kepada saya, ”Kalau saya menikah nanti, Ukhti datang kan?”
Saya mengiyakan dengan santai. Tidak lama kemudian, saya mulai mencerna kembali kata-kata Ukhti Tatik. Saya baru menyadari sesuatu. Jangan-jangan kata-kata tadi adalah sebuah “kode”.
“Ukhti mau menikah?” tanyaku penuh penasaran.
Dengan malu-malu dan dengan wajah merona, Ukhti membalas pertanyaanku hanya dengan anggukan kepala. Sontak saya menjerit dan langsung menutup rapat mulut saya. Menyadari sikap konyol saya di teras Masjid.
Kaget pastinya, Ukhti Tatik yang saya kenal pendiam dan pemalu tiba-tiba ngasih kabar kalau dia akan menikah. Dengan rasa penuh penasaran saya terus ngepo-in dia.
“beneran Ukhti mau nikah? Kok bisa? Sama siapa? Anak mana? Kenalnya gimana Ukh?”
Dengan penuh penasaran, saya langsung melempari Ukhti Tatik dengan puluhan pertanyaan.
“Iya, Dik. Ya bisa to Dik. Kan memang sudah diatur sama Allah. Awalnya, bulan November kemarin, Ummu Ahmad menawari saya untuk ta’arufan dengan seorang ikhwan. Tanggal 3 Desember kami tukar biodata, hanya tukar biodata, Dik. Tanpa bertemu. Setelah itu, beberapa hari kemudian, Sang ikhwan bersama perantara yang merupakan teman Ummu Ahmad datang ke rumah untuk Ta’arufan. Tanggal 31 Desember, ikhwan bersama dengan bapaknya dan kedua temannya datang kembali ke rumah untuk mengkhitbah (melamar) saya. Tanggal 10 Februari nanti akad nikahnya.”
Saya hanya melongo. Sesederhana itukah? Subhanallah. Saya terus saja menyebut nama Allah. Seperti inikah cinta sejati yang sesungguhnya?
“Ukhti yakin dengan ikhwan itu? Sesingkat itukah perkenalannya? Sesingkat itu prosesnya? Hanya 2 bulan terus nikah?” saya terheran-heran.
“Yakin, Dik. Sesuatu yang sudah diniati baik akan baik pula selanjutnya. Pasrah saja sama Allah. Saya hanya dua kali bertemu dengannya. Waktu ta’aruf dan waktu di khitbah. Tapi saya tetap yakin, Dik. Allah yang telah meyakinkan saya. Saya belum pernah kenal dia sebelumnya. Namun, ternyata kami dulu pernah satu forum diskusi. Saya tidak mengenalnya, tetapi dia mengenal teman-teman saya dan teman-teman saya juga mengenalnya. Itu membuat saya tambah yakin kalau ini memang sudah diatur sama Allah.”
“Subhanallah.. Selamat ya Ukh. Semoga dia memang jodoh Ukhti. Ahh.. Saya kok jadi kepingin to ukh..” canda saya sambil meraih lengan ukhti Tatik.
“Ayo Ukh.. Segera nyusul ya. Tapi jangan pacaran lho. Islam tidak mengenal pacaran. Pacaran itu gudangnya maksiat, gudangnya dosa. Islam telah mengajarkan ta’aruf sebagai awal pernikahan. Ta’aruf bukan pacaran. Ingat itu.”
“Iya Ukh.. Sebisa mungkin, saya pegang teguh prinsip itu.”
Setelah ngobrol panjang lebar dengan Ukhti Tatik, saya pun mulai nakal.
“Kajian tadi isinya apa ya ukh?” saya nyeloteh.
“Aduh.. mana saya tau Ukh.. Anti sih ngajak ngobrol terus.”
Saya langsung tertawa melihat tingkah lucu ukhti Tatik. Ukhti cantik yang baik parasnya dan baik hatinya. Dengan cinta sucinya yang sederhana. Saya jadi kepingin seperti dia. Tanpa pacaran, langsung nikah. Nggak nambah dosa, tur nggak ribet. Mungkin memang benar kata Darwis Tere Liye, novelis terkenal dengan cerita-cerita cintanya yang meluluhkan para pembaca. “Kalau memang terlihat rumit, lupakanlah. Itu jelas bukan cinta sejati kita. Cinta sejati selalu sederhana. Pengorbanan yang sederhana, kesetiaan yang tidak menuntut apapun, dan keindahan yang apa adanya.”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H