Lihat ke Halaman Asli

Menyerah pada Udara

Diperbarui: 17 Juni 2015   06:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

*Memperingati Hari Tanpa Tembakau Sedunia, 31 Mei 2015

Pada akhirnya, aku harus menyerah pada udara yang kauembuskan ke angkasa. Saat rasanya kau begitu lega tapi sungguh kau tega buatku tak lagi kuasa. Mimpi yang tengah kugapai, sirna sebab usahaku telah kaubuat purna.

Angkasa berubah mendung. Muatannya turun dari mataku. Membasahi periku yang kian tak terperikan lagi. Bulan dan bintang kausembunyikan. Padahal sebelumnya, keduanya menggantung di mataku.Sampai pun aku memelas, kau masih tak welas. Mengepulkan sampah ke udara. Memaksaku menghirupnya.

Kau terlihat begitu menikmati, memaksaku pelan-pelan mati. Kau seolah tak tahu, padahal pedangku telah kuayunkan ke arahmu. Tapi sepertinya kau kebal. Hatimu begitu bebal. Kau tak lagi peduli, sebelum aku benar-benar pergi menghadap Ilahi. Atau bahkan mungkin kau juga merasa tak punya urusan jika itu benar-benar kejadian.

Lalu sebenarnya siapa yang salah?

"Tidak ada yang patut disalahkan", katamu enteng.

Kau tidak merasa salah sedikitpun. Oh, ya. Tentu. Akulah yang salah sebab tak ada jarak denganmu.

Fajar menghapus malam. Secercah harapan menumpas kelam. Semoga kita saling mengerti. Bukan salah satu dari kita harus lari. Tapi, mohon maaf aku harus sendiri. Sebab, jika jalinan kita hanya simbiosis parasitisme, maka hanya merasa untung sendiri tanpa peduli yang lain rugi.

Selamat malam menjelang pagi. Semoga bahagia senantiasa menyelimuti.

Ciputat, ujung Mei 2015

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline