Lihat ke Halaman Asli

Perempuan Inspirasi dari Desa Terpencil Eks trans di Kabupaten Indragiri Hulu

Diperbarui: 24 Juni 2015   01:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13939214541571657850

Membangun kelompok SPP dari Semangkuk Beras

Ia tak sekedar perempuan biasa, yang mampu membangkitkan ekonomi keluargannya dari keterpurukan akibat krisis moneter kala itu, tetapi ia memiliki keluarbiasaan karena berhasil membangkitkan semangat perempuan lain untuk membuka usaha, dengan kesahajaannya menggunakan cara-cara sederhana dan mengedepakan prinsip-prinsip kemanusiaan dalam mengelola keuangan organisasi. 15 Tahun membina kelompok koperasi perempuan Enggal Maju, mampu membina 160 anggota untuk meningkatkan ekonomi dari tangan-tangan perempuan.

Rumah sederhana milik Sri, perempuan berusia 50 tahun itu memang tidaklah luas, namun ia menyisihkan sebuah ruang tamu untuk dijadikan sebagai kantor kelompok SPP simpan pinjam perempuan. Sejumlah berkas-berkas administrasi kelompok lengkap ia tata meski tak serapi sebuah organisasi. Ruangan itu juga dipenuhi oleh foto-foto kegiatan dan penghargaan yang diterima kelompok termasuk penghargaan dari PNPM Mandiri Perdesaan. Deretan foto kegiatan anggota kelompok yang ia bina berjejer di sana. Tidak terasa , 15 tahun ia telah membina kelompok tersebut yang turut pula mewarnai perkembangan desa Pematang Jaya, kecamatan Rengat Barat, Kabupaten Indragiri Hulu, Riau,  hingga menjadi kampung sentra industry kelompok pengrajin kerupuk.

[caption id="attachment_315098" align="alignnone" width="300" caption="Sri, kelompok SPP Enggal maju, desa Pematang Jaya, Rengat Barat, kab.Inhu. Prov.Riau."][/caption]

Sri berawal membina kelompok itu dari sebuah perwiritan, boleh dibilang tanpa sengaja, yakni karena kebutuhan untuk meminjam uang dari UPK (unit Pengelola Keuangan) binaan program PNPM Mandiri Perdesaan. Program ini mengharuskan peminjaman melalui kelompok perempuan.

“Waktu itu tahun 1999, nama programnya adalah PPK. Kami meminjam uang lima ratus ribu, nunggunya sampai 2 tahun. Lama tenan” Dialeg jawa itu keluar begitu kental, maklum ia memang suku jawa dan warga transmigrasi dari Solo di tahun  1980-an. Kala itu, kampung ekstrans masih sangat memprihatinkan, lahan yang belum bersahabat untuk bercocoktanam, pembangunan infrastruktur yang minim, jalan lintas yang sulit diakses kendaraan. Dengan membawa anggota perwiritan 5 Orang syarat minimal yang harus dipenuhi, mereka pun meminjam untuk kemudian mengelola uanganya untuk merintis kembali usaha kecil-kecilan setelah usaha warung kelontongnya tumpur akibat krisis moneter. Sri pun banting stir menjadi pedagang kerupuk keliling.

“Usaha kecil yang kelihatannya sepele inilah justru yang mampu menopang hidup keluarga kami. Dagang kain dengan modal besar justru tidak bisa berbuat apa-apa.” Ujar Sri seolah mengajarkan pada dirinya untuk tidak sepele dengan usaha kecil-kecilan.

Sebagai ketua kelompok, Sri harus mengumpulkan uang setiap bulannya untuk membayar cicilan kepada UPK, tentunya cukup merepotkan dan harus mengeluarkan ongkos. Untuk itu Sri meminta kesepakatan anggota kelompoknya membayar “uang minyak”.

“Tapi yah nggak sampai hati juga, toh buk.  masak  saya cari untung sedang mereka juga susah, malah lebih susah dari saya.”

Berawal dari Semangkuk beras

Ini adalah sejarah yang tidak bisa dilupakan Sri, membesarkan organisasi berawal dari semangkuk beras. Yah, untuk membayar cicilan ke kantor UPK yang jaraknya 10 Km, dengan jalanan dari kampung trans menuju ibukota kecamatan bukan medan tempuh jarak yang mudah, tak ada kendaraan umum. Karena tak sampai hati mengutip biaya, akhirnya sri memberikan usulan membayar iuran dengan membayar semangkuk beras, dan usulan tersebut disepakati oleh anggota. Maka sejak itu uang iuran pun dibayar dengan semangkuk beras. mengalihkan uang minyak untuk setoran kredit ke UPK.

Berkat kegigihan para ibu-ibu membuka usaha, yang kala itu sri menjual kerupuk samai akhirnya ia memiliki usaha pembuatan kerupuk, serta rekan-rekannya yang lain usaha kecil-kecilan, kelompok SPP mereka pun dipandang berhasil dan meminjam uang ke UPK pun menjadi gampang. Beberapa warga di kampung mereka juga ingin bergabung, karena kala itu untuk menambah kelompok memiliki beberapa prosedur yang diantaranya akan disurvey dan harus memiliki identitas ktp, sri pun mempermudah pinjaman kepada teman-temannya yang lain. Pinjaman yang diperuntukan kepada 5 orang yang jumlahnya sudah mulai besar karena kelompok mereka merupakan kelompok yang telah berkembang, dibagikan kepada 10 orang. Sehingga manfaat peminjam lebih banyak. Namun Sri cukup hati-hati agar tidak ada penunggakan. Sri betul-betul membuat pendekatan pribadi agar anggota membayar sesuai dengan jadwal.

“Alhamdulillah, buk. Kami itu ndak berani menunggak.” Ujar Sri.

Sampai akhirnya, kelompok spp enggal maju berkembang dengan managemen kekeluargaan, UPK dan fasilitator kabupaten Inhu pun ikut melakukan pembinaan. Melihat jumlah pemanfaat pinjaman yang dikelola ibu Sri ini cukup besar, maka kelompok SPP pun di usulkan menjadi kelompok eksekuting. Kelompok eksekuting ini akan mendapat pinjaman yang lebih besar dan bunga pinjaman diturunkan yakni 10 %, sedangkan kelompok biasa 15 %. Sehingga selisih bunga itu bisa menjadi asset kelompok.

“Saat ini saldo kelompok kami sebesar seratus juta, bu. “ Ujar Sri. Kami bisa memberikan pinjaman kepada saudara-saudara kami yang membutuhkan untuk modal usaha maupun pengembangan usaha satu juta sampai lima juta. Bahkan bisa meminjamkan saat kesusahan yang Cuma pinjam lima ratus ribu.”

Tetapi sekarang bayar iuran sudah nggak pake semangkuk beras, sebab anggota kelompok sudah 160 orang, yang mengutip beras sudah nggak sanggup lagi.  Sehingga mereka membayar iuran sebesar Rp 5.000 perbulan.

Kelompok ini tak sekedar menerima keuntungan, tetapi keuntungan kelompok sebagai sisa hasil usaha mereka ini akan kembali diberikan kepada anggota.

“SHUnya macam-macam bu, nggak duit, tapi barang. Kadang ada panci, piring dan lainnya.”

Sebahagian SHU yang dimiliki kelompok ini juga terkadang diberikan kepada masyarakat kurang mampu, hal ini tergantung keputusan rapat anggota, yang kini sudah berjumlah 160 Orang. Dan Alhamdulillah, sekarang Desa Pematang jaya tidak hanya menjadi desa yang makmur karena pertanian sawit dan karetnya bisa diandalkan, tetapi desa ini juga menjadi desa yang warganya bisa mencari penghidupan dikampung sendiri dengan tumbuhnya perekonomian di sana. Kampung ini dikenal sebagai kampung sentra pembuat kerupuk.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline