Lihat ke Halaman Asli

Negara Kelautan, Impor Hasil Laut?

Diperbarui: 23 Juni 2015   22:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Menurut data Kementrian Kelautan dan Perikanan, pada tahun 2013 Indonesia mengimpor garam yakni sebesar 225 ribu ton. Kemudian, menurut data Badan Pusat Statistik, impor garam yang dilakukan Indonesia sepanjang Januari-November 2013 sebesar 1,852 juta ton atau senilai 85,6 juta dolar AS. Garam tersebut, sebagian besar didatangkan dari Australia yakni sebesar 128,7 ribu ton atau 5,73 juta dolar AS dan Selandia Baru 143 ton atau 60,3 juta dolar AS. Indonesia sebagai negara kelautan, namun masih saja mengimpor hasil laut. Padahal luas lautan Indonesia menurut (menkokesra.go.id) yakni 6.279.000 km2.. Apabila melihat hal ini, seharusnya tidak ada wacana Indonesia mengimpor garam. Impor garam yang dilakukan Indonesia sebenarnya berasal dari negara yang luas wilayah lautnya di bawah luas lautan di Indonesia. Hal ini menjadi pelajaran bagi Indonesia bahwa negara-negara dengan luas wilayah laut lebih kecil dari Indonesia namun mampu menjadi eksportir garam negara-negara lain. Jika mereka bisa, bagaimana Indonesia?

Impor sebenarnya merupakan opsi lain untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Perlu diingat, sah-sah saja negara kita mengimpor barang, namun hanya barang yang tidak bisa kita produksi, itupun harus adanya pengontrolan agar Indonesia tidak termanjakan dengan perilaku konsumtif, bukannya asal mengimpor barang yang sebenarnya kita dapat memproduksi sendiri, karena apabila seperti itu Indonesia akan selamanya terjerat dengan perilaku konsumtif, lalu kapan Indonesia produktif?

Apabila impor garam dilakukan dengan alasan belum bisa memenuhi kebutuhan garam nasional, perlu di pertanyakan mengapa harus mengimpor? mengapa anggaran yang digunakan untuk mengimpor tidak digunakan untuk meningkatkan upaya produksi garam dalam negeri? Hal tersebut cukup memberi gambaran terlalu pasrahnya kita dengan keadaan, dan kecilnya tekad untuk berusaha mandiri. Hal ini menjadi salah satu gambaran lemahnya Indonesia yang sekarang ini memang dimanfaatkan oleh negara-negara produktif sebagai sasaran produk-produk mereka. Tidak mudah memang membangun industri untuk produksi garam secara instan. Namun sampai mana upaya kita membangun? Impor garam untuk saat ini sah sah saja dilakukan, sembari kita berusaha membangun industri peningkatan produksi garam. Apabila tidak di barengi dengan upaya tersebut, apakah selamanya kita akan mengimpor garam?

Hal penting yang perlu dilakukan sekarang ialah bagaimana mengupayakan peningkatan produksi garam berkelanjutan dalam negeri. Hal tersebut dapat dilakukan dengan memaksimalkan pemanfaatan lahan garam, meningkatkan kualitas produksi garam dengan alat penunjang, penanaman mental industriawan bagi masyarakat, agar bukan lagi hanya bermental pedagang, perlunya akses pemasaran yang jelas, adanya bantuan modal, dan perlu adanya kelembagaan petani garam. Dalam hal ini, pemerintah berperan besar dalam upaya membimbingan masyarakat, perlu adanya perhatian khusus bagi daerah-daerah potensial, termasuk daerah potensi produksi garam, tidak hanya bagi daerah pemasaran ataupun konsumsi agar tidak adanya kesenjangan.

Impor yang selanjutnya adalah masih tingginya impor ikan yang dilakukan Indonesia, harusnya ekspor ikan menjadi sektor kekuatan Indonesia, namun kenyataannya tidak berjalan sebagaimana mestinya. Apabila Indonesia mengimpor ikan dengan alasan ikan tersebut tidak dibudidayakan di Indonesia. Hendaklah kita dapat berfikir, haruskah mengkonsumsi ikan tersebut? Bisakan kita mengganti ikan jenis lain? ataupun mengkomsumsi apa yang ada di alam kita sendiri. Kita harus mulai membiasakan untuk tidak konsumtif, mencari yang tidak ada. Hasil laut lainnya yang sebenarnya menjadi kekuatan ekspor Indonesia adalah mutiara. Dengan luasnya laut Indonesia seharusnya budidaya kerang penghasil mutiara dapat berkembang pesat, namun orang Indonesia pada umumnya lebih percaya diri menggunakan mutiara impor, bukan dengan mutiara hasil budidaya negeri sendiri. Hal ini dapat berdampak pada kelesuan produksi dan pemasaran mutiara lokal.

Impor bukanlah solusi permanen untuk mencukupi kebutuhan dalam negeri, kecuali untuk jenis-jenis tertentu yang memang tidak bisa diproduksi dari dalam negeri. Harapan kita semua Indonesia dapat mengekspor barang berkualitas yang berguna bagi negara lain. Bukan hanyamengekspor bahan baku atau malah jadi negara importir, terlebih importir barang jadi dari bahan baku yang telah kita ekspor. Apabila Indonesia belum mampu mengekspor, paling tidak harus mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri terlebih dahulu untuk meminimalkan impor.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline