Melihat baliho yang terpasang di jalan, bertuliskan “Indonesia Milik Siapa?” yang diusung oleh Dompet Dhuafa dengan tema “Indonesia Move ON” menyulut perhatian saya. Tulisan yang sebenarnya sederhana namun membuat kita berfikir apa makna dari tulisan tersebut. Pertanyaan itulah yang saat ini sekiranya tepat menjadi pertanyaan bagi kita semua, pertanyaan bagi rakyat dan para pemimpin negeri ini. Indonesia milik siapa? Milik siapa negara kita saat ini? Milik siapa negara yang kalian pimpin?
Wacana mengenai kapitalisme yang tumbuh subur di Indonesia, yang saat ini santer terdengar dimana-mana, di dalam segala hal dan di segala bidang. Hal ini merupakan segelintir gambaran yang menjawab pertanyaan sebenarnya “milik siapa Indonesia?” Saat ini kapitalisme merupakan hal yang sangat berpengaruh terhadap perekonomian dunia. Terlebih era globalisasi saat ini, yang seakan-akan merupakan gerbang bagi kelanggengan kapitalisme. Kelanggengan kapitalisme tersebut sudah terlanjur tumbuh subur di Indonesia. Sumber daya alam dan sumber daya manusia dieksploitasi oleh negara-negara asing. Sumber daya alam melimpah hanya menjadi simbol kekayaan bangsa Indonesia. Kekayaan alam Indonesia seperti hutan, tambang emas, pengeboran minyak, batubara yang perusahaannya tumbuh besar di Indonesia lagi-lagi bukan di bawah kekuasaan Indonesia seutuhnya. Indonesia sebagai penghasil sumber alam, namun sekaligus menjadi sasaran pemasaran hasil sumber alam tersebut. Warga Indonesia, bahkan warga sekitar daerah potensial tersebut hanya menjadi penonton, tak ada perubahan signifikan dari adanya kekayaan alam tersebut bagi mereka, kekayaan alam yang seharusnya dapat mensejahterakan mereka dan negeri kita. Kekayaan yang dimiliki Indonesia hanya bisa dimiliki oleh segelintir orang, yang menyebabkan rakyat tidak bisa menikmati kekayaan yang dimiliki negara Indonesia.
Tidak hanya sumber daya alam kita yang digerogoti oleh asing, melainkan sumber daya manusia di Indonesiia juga ikut di dalamnya. Melalui kedok anak-anak miskin disekolahkan, diberikan bantuan dana pendidikan, kedok mengentaskan pengangguran dengan membuka peluang kerja di perusahaan, yang tidak lain akhirnya juga menjadi buruh bergaji murah untuk melayani koorporasi mereka. Harusnya kita menjadi raja di negeri sendiri, namun realitanya predikat babu yang kita sandang. Belum lagi adanya penjualan asset BUMN yang telah lama terjadi, dapat dipastikan satu persatu aset negara hilang akibat dijual kepada pihak asing.
Sebagian besar prusahaan yang selama ini melenggang subur di Indonesia bukanlah murni milik Indonesia melainkan milik asing, termasuk pada sektor perusahaan pertelekomunikasian, perbankan, dan masih banyak lagi sektor yang diambil alih oleh asing. Sektor pasar Indonesiaa saat ini juga telah didominasi produk asing, dengan berdirinya pusat perbelanjaan yang seharusnya menjadi media masyarakat Indonesia untuk menjual produk dalam negeri, namun yang ada, gerai-gerai di pusat perbelanjaan tersebut malah memperjualkan produk-produk luar negeri. Berbagai produk mulai dari makanan, pakaian, tas, sepatu, furniture, maupun jasa asuransi. Terlebih, masyarakat Indonesia terutama kelas menengah ke atas umunya malah memuja-muja produk-produk tersebut, bukannya percaya diri memakai produk-produk dalam negeri. Apabila kita tidak menghargai dan bangga dengan produk sendiri, apakah kita masih perlu berharap orang luar bangga dengan produk kita? Dengan berdirinya pusat perbelanjaan yang megah tersebut, tidak ada perbedaan dengan pusat perbelanjaan di luar negeri. Hal ini dapat berdampak pada wisatawan mancanegara yang mengunjungi pusat-pusat perbelanjaan di Indonesia, dimana produk-produk yang diperjualbelikan merupakan produk dari negara mereka sendiri yang tanpa harus ke Indonesia mereka bisa membeli.
Kebutuhan mendasar seperti sandang, pangan, papan juga tidak terlepas dari peranan asing. Mengenai sandang, banyak merk pakaian luar negeri yang diperjualbelikan di pusat perbelanjaan Indonesia, dan produk tersebut menjadi produk yang dipuja-puja rata-rata masyarakat menengah ke atas di Indonesia. Dalam hal pangan, lagi-lagi produk makanan luar negeri diperjualbelikan di pusat perbelanjaan, restoran pada gerai pusat perbelanjaan didominasi produk makanan dari luar negeri. Indonesia sebagai negara agraris ternyata juga masih mengimpor kebutuhan pangan, bahkan kebutuhan pangan pokok yakni beras. Selain itu, Indonesia sekarang ini sedang marak dengan tempat hunian mewah dan apartemen dengan segala fasilitasnya yang tak lain saham kepemilikan perusahaan hunian tersebut milik asing, belum lagi material bahan bangunan juga dibeli dari perusahaan-perusahaan naungan asing.
Tidak berhenti disitu, sektor pengiklanan di media massa juga berisi iklan produk-produk luar negeri. Media massa yang dapat dengan mudah membentuk cara pandang dan mempengaruhi pola perilaku masyarakat. Media ini merupakan sarana pengiklanan yang secara signifikan mampu meningkatkan penjualan produk barang maupun jasa, dan semua itu telah diambil alih dengan baik oleh mereka dengan produk-produknya yang sekaligus mempengaruhi perilaku konsumtif masyarakat. Toko kelontong saat ini juga telah diambil alih oleh mini market asing yang menawarkan barang yang lebih lengkap bahkan buka selama 24 jam. Masalah lain yang memprihatinkan yakni ketergantungan Indonesia pada IMF, Bank Dunia, dan WTO. Besarnya hutang,membuat Indonesia harus patuh dan tunduk atas syarat yang diminta oleh lembaga tersebut, hal ini seakan-akan membuat Indonesia terkunci pada jurang kapitalisme, kepatuhan Indonesia pada kapitalisme saat ini sudah keterlaluan. Entah harus memulai dari mana agar kita dapat bangkit, namun akankah kita berdiam diri melihat keadaan ini?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H