Lihat ke Halaman Asli

Kata Lautan

Diperbarui: 26 Juni 2015   07:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Aku terlalu banyak berprasangka pada laut
Aku pikir ia titan kelaparan,
Menelanjangi bulat bulat dan menelan.
Tapi ia menyentuh lembut seperti menjagai janin beserta tembuninya.

Mungkin lautan benar. Bahwa yang benar itu hanyalah yang benar. Tak lagi dapat dibelokan. Tak lagi ada yg lebih benar. Kebenaran adalah tunggal. Tak ada yang menyerupai kebenaran itu sendiri. Dengan demikian, tak ada yang dapat membantah argumentasinya. Bukankah hanya itulah kebenaran?

Maka aku tau, bahwa kan kulupa wajahmu. Tak lagi kusebut namamu. Kubiarkan ia menguap. Kubiarkan ia menyublim. Kubiarkan apapun terjadi asal bayangmu tak lagi di sini. Maka kuusahakan semua. Kulakukan berupa-rupa kemungkinan. Kulakukan ritual ritual. Kurapal mantra. Kubiarkan tercampur dengan air mata. Siapa yang peduli. Karena kebenaran hanyalah kata lautan.

Karena rindu itu, cuma rindu semu. Katanya aku sekadar perempuan lugu yang kan jemu menyenyumimu. Katanya tak bisa begitu, ia tak kan pernah menerimamu. Maka kita harus menerima itu. Karena kebenaran yang ia miliki adalah baku. Tak lekang dimakan waktu. Tak jemu diseru. Sampai akhir masa pun kan begitu. Bagiku, rasanya memang kelu, entah denganmu.

Sampai di situ. Jalanku hanyalah setapak memutari mentari. Tak terhenti. Tak terarah. Sekadar mencetak telapak di pasir yg kan disapu ombak. Asa yg sia. Gelombang kan selalu ada selama samudera terjaga.

Dan Lautan tetap lautan, yang kuat dan pandai menyimpan rapat kebenaran. Lautan tak mungkin kulawan. Ia Gaia, Ia rahim janinku. Ia adalah satu-satunya caraku dapat bertemu denganmu. Tak lagi ada yg dapat dilakukan.

Aku hanya berputar.
Tak terhenti.
Layaknya
Muhammad yang bukan Bani Hasyim.
Isa yang tak terlahir dari Maria.
Dan Sidharta tanpa Budha

Sampai kutemukan kembali kebenaranku sendiri. Bukan kebenaran yang baku. Bukan juga yang pasti. Juga bukan kebenaran tandingan. Semacam penemuan akan kebenaranku sendiri. Kebenaran yg belajar tegak dengan sendirinya. Kebenaran yang membantuku mengingat samar warna matamu. Menggambar gurat senyummu.

Sehingga tak lagi ada rindu yg mengharu biru.

Saat Wayahnya tiba, ku kan mengirimmimu rindunya rindu. Bukan rindu yg semu. Bukan juga rindu yang lugu. Rindu dalam kertas pembungkus biru, bersama titipan restu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline