Lihat ke Halaman Asli

Penyandang Cacat dan Transportasi Umum

Diperbarui: 26 Juni 2015   13:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Di sarana transportasi TransJakarta maupun Kereta Api, sudah tersedia bangku khusus untuk ibu hamil, lansia, membawa balita, serta para penyandang cacat. Namun, sudahkah hak para penyandang cacat ini dipenuhi? Bagaimana dengan di bus2 umum?

Selasa kemarin, sewaktu ada meeting di kawasan Jakarta Barat, aku berangkat dengan Bus AC jurusan Bekasi - Term. Grogol. Pagi yang macet..Tentu saja, pemandangan lumrah di ibukota ini. Aku pun hanya bisa berdiri di 1,5 jam perjalanan itu. Alhamdulillah, meski pegal tapi ALLOH masih memberiku kesehatan fisik nan prima serta usia yang masih muda. Namun, seorang ibu2 renta sekitar 60 tahunan berdiri pas di depan jendela belakang supir, ia sedang berbicara dengan temannya. Secara fisik, meski tua namun memang masih terlihat gemuk. Tapi, kok di bus2 umum itu apa tidak di dahulukan ya untuk mereka2 yang lansia? Apa hanya di angkutan khusus seperti Transbusway atau kereta? Sementara 2 mahasiswi duduk di depannya.

Tak hanya pemandangan itu, di bus itu juga ada bapak penyandang cacat menggunakan 2 tongkat penyangga badannya karena kaki kanannya putus. Beliau hanya berpijak di kaki kirinya. Syukurlah, beliau mendapat tempat duduk. Jika tidak, keterlaluan sekali rasa kepekaan sosial disana. Memang tak dapat disalahkan juga. Pemandangan sehari2 melihat kemacetan dan bus yang penuh sesak memang tak dapat dipungkiri membuat orang sudah terbiasa melihat siapapun berdiri, tak peduli lansia ataupun wanita hamil. Sama2 capai dan lelah, itu yang sama2 kita alami.

Bus pun mulai memasuki daerah Slipi. Bapak itu turun di depan RS Dharmais, entah mau berobat atau bagaimana, aku tidak tahu, tapi beliau meminta diturunkan disana. Dengan tertatih2 menggunakan tongkatnya, beliau turun satu demi satu menuruni anak tangga bus. Menuju RS, aku tau harus menggunakan jembatan penyebrangan. Dan beliau harus naik dan turun satu demi satu anak tangga jembatan penyebrangan tersebut dengan satu kakinya dan tanpa keluarga yang mendampingi.

Yah, tak ada tendensi apapun dariku saat menuliskan hal ini. Hanya ingin, perhatian khusus pemerintah lebih aware terhadap mereka. Tak ada orang ingin menjadi penyandang cacat, tapi kecelakaan membuat luka fisik yang membekas, atau sebab2 lainnya. Aku berharap, di semua sarana umum, tersedia layanan khusus untuk mereka. Memang di beberapa tempat sudah aku lihat, seperti tempat wudhu khusus, bangku penumpang khusus. Semoga bisa di optimalisasi untuk semua kondisi khusus.

Aku teringat salah satu dorama favoriteku, 1 litre of tears ( Ichi Ritorru no Namida), film seri Jepang yang membuat air mataku jatuh bercucuran, bengkak, dan sembab berhari2. kisah Aya Kitou, seorang gadis berusia 15 tahun yang luar biasa, menginspirasi siapapun yang melihat kisahnya. Penderita Spinocerebrall Degeneration, sebuah penyakit otak yang sangat langka mempengaruhi satu demi satu saraf2 koordinasi otaknya. Kemampuan melambat sedikit demi sedikit, antara otak dengan gerakan tubuh tidak sinkron, tidak bisa lagi berlari, ia pun menulis kisahnya dalam diarynya hingga tangannya benar2 tidak bisa lagi di gerakkan.. Aku teringat bagaimana teman2 sekolahnya merasa kesal karena menganggap aktivitas sekolahnya terganggu sebab harus selalu menunggu Aya, sehingga Aya pindah ke sekolah khusus. Ketika dia ingin naik ke bus, masuk tertatih2, dan memperlihatkan kartu khusus penyandang cacat ke supir busnya...10 tahun. Yah, 10 tahun dia berjuang tanpa putus asa dan menyalahkan takdir. Mengharukan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline