Lihat ke Halaman Asli

Rikah Rianty

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Transformasi Akreditasi Program Studi: Mengatasi Mutu atau Justru Membebani?

Diperbarui: 28 Desember 2023   14:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pembahasan tentang mutu pendidikan kerapkali beririsan dengan capaian akreditasi yang diperoleh oleh satuan pendidikan, tak terkecuali dengan pendidikan tinggi. Perguruan tinggi sebagai lembaga yang menyelenggakan pendidikan tinggi, tidak terlepas dari tuntutan akan kualitas itu sendiri. Hasil akreditasi tak jarang menjadi salah satu penentu seseorang dalam memutuskan perguruan tinggi mana yang akan dipilih.

Akreditasi sebagai alat ampuh dalam penjaminan mutu, digunakan untuk menilai sistem nasional pendidikan tinggi. Akreditasi juga sebagai alat untuk melihat kualitas dan memastikan bahwa perguruan tinggi maupun program studi telah menjalani proses evaluasi eksternal yang ketat, berdasarkan standar dan prinsip yang telah ditetapkan sebelumnya. Akreditasi memiliki dampak dan manfaat yang besar bagi perguruan tinggi.  Sebuah studi mengungkap bahwa reputasi akademik dipengaruhi oleh posisi perguruan tinggi peringkat teratas. Bahkan QS Word di University Ranking memiliki bobot 50% untuk reputasi (akademik dan pemberian kerja).

Akreditasi menjadi bagian dari sistem penjaminan mutu eksternal perguruan tinggi, yang dilakukan untuk menilai kelayakan perguruan tinggi dan program studi di dalamnya.  Pada mulanya, akreditasi hanya dilakukan oleh Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT) sebagai kepanjangan tangan pemerintah di bawah Kemendikbudristek.  Seiring dengan transformasi akreditasi perguruan tinggi, muncullah kebijakan baru yang mengatur tentang akreditasi program studi melalui Lembaga Akreditasi Mandiri (LAM), adapun BAN-PT kedepannya hanya diperuntukkan bagi akreditasi perguruan tinggi.

picture3da-658c68c512d50f502c21d852.png

Transformasi BAN-PT ke LAM

LAM merupakan lembaga akreditasi mandiri yang dibentuk oleh pemerintah dan masyarakat, serta telah mendapat pengakuan resmi dari negara. Hingga tulisan ini dimuat, Indonesia telah mengesahkan dan memberikan izin beroperasinya 6 Lembaga Akreditasi Mandiri, yaitu LAM-PTKes, LAM-DIK, LAM-Teknik, LAM-EMBA, LAM-SAMA, dan LAM-Infokom. Seiring dengan perkembangannya, jumlah LAM akan terus bertambah. Beberapa organisasi rumpun ilmu yang berbadan hukum saat ini tengah mengolah dan merancang pendirian LAM lain, yang sesuai dengan bidang keilmunya masing-masing.

Peralihan skema akreditasi yang mengalami transformasi ini semakin dipertegas dengan terbitnya kebijakan pemerintah melalui Peraturan Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi Nomor 9 tahun 2020 tentang Kebijakan Pengalihan Akreditasi Program Studi dari BAN-PT ke LAM. Selanjutnya, regulasi tersebut semakin diperkuat pula dengan lahirnya Pemendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi yang di dalamnya memuat pembahasan tentang akreditasi perguruan tinggi dan program studi.

Transformasi ini seakan menandai berakhirnya dinasti BAN-PT yang selama ini menjadi satu-satunya lembaga yang berwenang melakukan akreditasi program studi dan perguruan tinggi di Indonesia secara nasional. Melalui LAM, masyarakat diberikan kesempatan untuk terlibat dalam proses akreditasi.

Hadirnya kebijakan transformasi akreditasi program studi dari BAN-PT ke LAM memberikan angin segar bagi pemerintah. Pasalnya, negara tidak lagi menjadi pihak yang membiayai akreditasi program studi (prodi).  Hal ini sangat membantu pemerintah dalam menekan pembengkakan anggaran untuk alokasi penjaminan mutu pendidikan tinggi. Di samping itu, pengelola dan asesor LAM yang merupakan orang-orang pada bidang keilmuan tertentu, membuat proses akreditasi dirasa lebih tepat dan terarah. Prodi dinilai langsung oleh asesor yang mumpuni dalam bidang keprodian. Artinya, tidak terdapat kesenjangan antara kompetensi keilmuan prodi dengan asesor akreditasi, pun juga dalam hal instrumen akreditasi. Misalnya, prodi Manajemen Pendidikan Islam dinilai langsung oleh asesor yang memang mumpuni dalam bidang ilmu Manajemen Pendidikan, dan begitu seterusnya. Selain itu, di samping memberikan penilaian, asesor juga memberikan pendampingan dalam rangka perbaikan mutu program studi secara berkelanjutan.

Transformasi Akreditasi Membebani Prodi?

Di samping memberikan dampak positif dalam peningkatan mutu pendidikan, transformasi akreditasi program studi (prodi) melalui LAM juga memunculkan beberapa permasalahan.  LAM sebagai lembaga mandiri yang melakukan proses akreditasi tidaklah didanai oleh pemerintah. Pembiayaan akreditasi dibebankan seluruhnya kepada masing-masing prodi. Biaya akreditasi prodi ditaksir sebesar Rp 52.000.000,- (lima puluh dua juta rupiah). Angka ini belum termasuk biaya internal prodi dalam menyiapkan borang dan persiapan akreditasi, serta biaya-biaya tak terduga lainnya.  Belum lagi jika prodi ingin mengajukan banding terhadap hasil akreditasi LAM yang harus mengeluarkan kocek sebesar 29.700.000,- (dua puluh sembilan juta tujuh ratus ribu rupiah).  Angka ini mungkin tidak terlalu memberatkan perguruan tinggi skala besar, yang memiliki pendanaan stabil. Namun bagaimana dengan perguruan tinggi kecil? Kebijakan ini tentu membuat prodi-prodi tersebut menjerit.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline