Umat Islam di Indonesia telah lama berkembang melalui lahirnya kegiatan-kegiatan dan organisasi kemasyarakatan/kemanusiaan. Di bawah tekanan penjajah kolonialis semakin menguatkan para aktivis gerakan Islam dan gerakan nasionalis untuk memimpin kesadaran untuk bergerak melalui jaringan masing-masing.
Bisa dikatakan bahwa kemunculan organisasi sosial Islam memberikan akses terhadap kesadaran untuk memperjuangkan diri dan umat Islam sekaligus sebagai gerakan kebangkitan nasionalisme. Perkembangan organisasi keagamaan di Indonesia adalah sejarah yang sangat panjang dari waktu sebelum kemerdekaan sampai dengan era modern.
Nottingham menyebutkan organisasi keagamaan sebagai upaya terorganisir untuk menyebarkan agama baru, atau interpretasi baru terhadap agama-agama yang ada. Agama Islam berkembang baik secara lokal, nasional maupun internasional.
Beberapa organisasi kemasyarakatan Islam terbesar secara nasional maupun lokal dengan fokus dan cakupan gerakan yang beragam, yakni: Nahdlatul Ulama (NU), Sarikat Islam (SI), Persatuan Tarbiyah Islamiyah (PERTI), Majelis Ulama Indonesia (MUI), Asosiasi Peningkatan Pendidikan Islam (GUPPI), Majelis Dakwah Islamiyah (MDI), Bahasa Indonesia Dewan Masjid (DMI), Asosiasi Intelektual Muslim Indonesia (ICMI), Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Serikat Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Aisyiah, Muslimat NU, dan sebagainya. Organisasi kemasyarakatan Islam, yakni Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah yang menjadi fokus penelitian ini.
Kedua organisasi tersebut layak dijadikan objek penelitian karena merupakan dua oragnisasi besar yang telah memiliki sejarah panjang yang lahir dalam bentuk pemikiran-pemikiran dan perannya dalam mencerahkan kehidupan beragama, mencerdaskan dan menyadarkan umat serta meningkatkan harkat dan martabat bangsa.
Disisi lain kedua organisasi Islam tersebut memiliki ciri khas tersendiri dalam menjalankan visi misinya dalam berdakwah. Muhammadiyah dalam berdakwah diwujudkan dengan mengaktualisasikan ajaran-ajaran Islam ke dalam kehidupan yang konkret dengan membangun sekolah guru, mendirikan balai kesehatan, memelihara anak yatim, memberdayakan orang-orang miskin dengan memelihara, melatih bekerja dan mencarikan mereka pekerjaan, mendidik anak-anak dan pemuda-pemuda dalam kepanduan Hizbul Wathan, mendirikan organisasi wanita dan lain-lain. (Buletin at-Turas:2018)
Untuk merealisasikan pemerintahan yang profesional dan akuntabel yang bersandar pada prinsip-prinsip good governance, Lembaga Administrasi Negara (LAN) merumuskan sembilan aspek fundamental dalam good governance yang harus diperhatikan, atau syarat bagi terciptanya pemerintahan yang baik dan bersih: Pertama, asas partisipasi adalah bentuk keikutsertaan warga masyarakat dalam pengambilan keputusan, baik langsung maupun melalui lembaga perwakilan yang sah yang mewakili kepentingan mereka.
Kedua, penegakan hukum. Harus ada pengakuan hukum yang menindak para pelanggar, menjamin perlindungan HAM, tidak memihak, berlaku pada semua warga.
Sehubungan dengan hal tersebut, realitas wujud good governance , harus diimbangi dengan komitmen pemerintah untuk menegakkan hukum yang mengandung unsur-unsur:1)supremasi hukum,2)kepastian hukum,3)Hukum yang responsif, 4)penegakan hukum yang konsisten dan nondiskriminasi, 5)independen peradilan.
Ketiga, transparansi, adanya ruang kebebasam untuk memperoleh informasi publik bagi warga yang membutuhkan. Keempat, responsif, lembaga publik mampu merespon kebutuhan masyarakat, terutama berkaitan dengan "basic needs" (kebutuhan dasar) dan HAM. Kelima, asas konsensus adalah jika ada perbedaan kepentingan yang mendasar di dalam masyarakat, penyelesaian harus mengutamakan cara dialog atau masyarakat menjadi konsensus.
Keenam, persamaan Hak, asas ini mengharuskan setiap pelaksanaan pemerintah untuk bersikap dan berperilaku adil dalam pelayanan publik tanpa mengebal perbedaan, keyakinan, suku, jenis kelamin, dan kelas sosial. Ketujuh, efektivitas, pemerintah harus efektif dan efisien dalam memproduksi output berupa aturan, kebijakan, dan pengelolaan keuangan negara. Kedelapan, akuntabilitas, setiap pejabat publik dituntut untuk mempertanggung jawabkan semua kebijakan, perbuatan, moral, maupun netralis sikapnya terhadap masyarakat.