Lihat ke Halaman Asli

Otoritas Orang Tua dalam Memaksa Kawin Anak Usia 21 Tahun Ditinjau dari Kompilasi Hukum Islam

Diperbarui: 1 Juni 2023   16:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Hukum Perdata Islam Di Indonesia
Reviewer : Rika Amalia Putri NIM 212121067 HKI 4B

Judul : Otoritas Orang Tua Dalam Memaksa Kawin Anak Usia 21 Tahun Ditinjau Dari Kompilasi Hukum Islam (Studi Kasus Desa Sibual Buali, Kec. Ulu Barumun, kab. Palas)
Nama Penulis : Ammar Siddik HBS
Tahun Skripsi : 2018
Tebal Skripsi  : 87 Halaman

Abstrak
Dalam melakukan penelitian ini penulis mengkaji mengenai perwalian orang tua terhadap anaknya yang berusia 21 tahun. Orang tua merasa memiliki tanggung jawab untuk menikahkan anaknya ketika sudah menginjak dewasa. Di Desa Sibual Buali para orang tua memaksa anaknya untuk menikah dengan calon pasangan yang sudah dipilihkan. Selain berdasar pada keinginan orang tua dan tanggung jawab yang diemban, menikahkan anak secara paksa juga dipengaruhi oleh adat daerah tersebut. Berbanding terbalik dengan persyaratan menikah yang terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 16 ayat (1) dan (2) yang menyebutkan bahwa izin dan persetujuan mempelai menjadi salah satu syarat yang harus dipenuhi. Persetujuan dari calon mempelai dapat berupa pernyataan tegas baik dalam bentuk lisan, tulisan, dan isyarat, serta juga dapat dinyatakan dengan diam yang dapat diartikan tidak terdapat penolakan. Dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 98 ayat (1) menyebutkan bahwa batas usia anak yang disebut dewasa adalah 21 tahun, selama anak tidak mengalami cacat fisik, mental, dan belum pernah melangsungkan perkawinan. Sehingga dapat diketahui bahwa meminta izin dari calon mempelai merupakan syarat dilangsungkannya pernikahan. Selain itu, otoritas orang tua dalam memaksa anaknya menikah adalah ketika anak tersebut berusia dibawah 21 tahun. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan teknik observasi dan wawancara, sehingga dalam pengumpulan data akan dihentikan ketika data yang didapat sudah cukup.
Kata Kunci : tradisi, adat, tanggung jawab, menikah.

Abstract
In conducting this research, the writer examines the parental guardianship of their 21-year-old child. Parents feel they have a responsibility to marry off their children when they are adults. In Sibual Buali Village, parents force their children to marry a candidate who has already been chosen. Apart from being based on the wishes of the parents and the responsibilities they carry, forced marriage of children is also influenced by local customs. In contrast to the marriage requirements contained in the Compilation of Islamic Law Article 16 paragraphs (1) and (2) which state that the permission and approval of the bride and groom are one of the conditions that must be met. Approval from the prospective bride and groom can be in the form of a firm statement in the form of oral, written, and gesture, and can also be stated silently which means that there is no rejection. In the Compilation of Islamic Law Article 98 paragraph (1) states that the age limit for a child who is called an adult is 21 years, as long as the child does not have physical, mental disabilities, and has never been married. So it can be seen that asking permission from the prospective bride is a condition for holding a marriage. In addition, the authority of parents in forcing their children to marry is when the child is under 21 years of age. In this study, researchers used observation and interview techniques, so that data collection would be stopped when the data obtained were sufficient.
Keywords: tradition, custom, responsibility, marriage.

PENDAHULUAN

Pada bagian ini peneliti memaparkan mengenai tradisi peninggalan leluhur yang menikahkan anak secara paksa merupakan tanggung jawab dan wewenang orang tua untuk mencarikan pasangan anaknya. Sehingga anak tidak akan salah dalam memilih pasangan.  Karena tidak dipungkiri para orang tua menginginkan anaknya hidup dengan pasangan yang baik dan tepat.
Akan tetapi, dalam hal ini para orang tidak meminta persetujuan dari anak mereka. Bagi mereka menikahkan anak diperbolehkan karena ayah sebagai wali mujbir mempunyai hak untuk memaksa anaknya menikah.
Alasan lain orang tua memaksa anaknya menikah adalah keinginan orang tua melihat anaknya menikah dengan orang pilihannya. Selain itu, juga menghindari dari pacaran yang terlalu lama yang dapat mengakibatkan fitnah dan sesuatu yang tidak diinginkan. Karena di Desa Sibual Buali juga terdapat larangan untuk pacaran terlalu lama.
Otoritas orang tua dalam memaksa anaknya menikah bertentangan dengan Kompilasi Hukum Islam Pasal 16 ayat (1) dan ayat (2). Selain itu juga bertentangan dengan Undang-Undang HAM No. 39 Tahun 1999 pada Pasal 10 Ayat 2 bahwa perkawinan yang sah hanya dapat berlangsung atas dasar kehendak bebas calon suami dan calon istri yang bersangkutan.
Sedangkan anak yang sudah berusia 21 tahun sudah dianggap dewasa oleh perundang-undang dan dapat melakukan perbuatan hukum dan berdiri sendiri dalam menentukan kehidupannya. Lalu bagaimanakah hal ini masih terjadi di Desa Sibual Buali di tengah perkembangan zaman yang modern. Apakah memaksa anak menikah tidak berdampak pada kehidupan rumah tangga anak.
Maka dari itu uraian diatas menjadi alasan mengapa penulis memilih judul skripsi tersebut tertarik dengan problematika kasus ini dan mencoba untuk mengangkat wacana tersebut dalam sebuah karya ilmiah dengan judul "Otoritas Orang Tua Dalam Memaksa Kawin Anak Usia 21 Tahun Ditinjau Dari Kompilasi Hukum Islam (Studi Kasus Desa Sibual Buali, Kec. Ulu Barumun, kab. Palas)"
Dan yang penulis analisis ialah mengapa orang tua mengedepankan otoritasnya dalam memaksa kawin anak usia 21 tahun di Desa Sibual Buali dan bagaimana tinjauan Kompilasi Hukum Islam terhadap otoritas orang tua dalam memaksa kawin anak usia 21 tahun.

ISI REVIEW
Dalam skripsi ini terdapat 5 sub bab antara lain :
BAB I PENDAHULUAN
BAB II KAJIAN TEORITIS
BAB III GAMBARAN UMUM DESA SIBUAL BUALI
BAB IV TEMUAN PENELITIAN
BAB V PENUTUP

 BAB I

Bab ini terdiri dari latar belakang masalah, rumusan masalah, batasan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, penelitian terdahulu, metode penelitian, dan sistematika pembahasan.
Pada latar belakang dibahas mengenai anak sebagai generasi penerus orang tua yang sudah seharusnya mendapat nama yang baik, pendidikan dan pengajaran, serta dapat dinikahkan oleh orang tuanya ketika dewasa.
Terkait menikahkan anak terdapat landasan dari Qs. an-Nur ayat 32 dimana orang tua wajib menikahkan anaknya yang masih membujang dengan mencarikan pasangan yang baik dari kekayaan, keturunan, kecantikan, dan agamanya.
Menurut Syaikh Al Imam Abi Ishaq Ibrahim bin 'Ali bin Yusuf Al Fairuzabadi As Syirazi mengatakan bahwa ayah dan kakek dapat menikahkan anak perempuannya dengan tanpa meminta izin terlebih dahulu baik yang sudah dewasa maupun yang masih anak-anak.
Pendapat senada juga terdapat dalam Kitab Fathul Mu'in menjelaskan tidak disyaratkan adanya keridhaan dari anak perawannya walaupun anaknya sudah usia baligh sekalipun berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Daru Quthni: Janda lebih berhak mengurusi dirinya sendiri daripada walinya, sedang gadis itu dikawinkan oleh ayahnya. Hal ini yang menjadi dasar para orang tua untuk memaksa menikah anaknya yang berusia 21 tahun di Desa Sibual Buali.
Pernikahan yang terjadi sebab adanya paksaan dari orang tua sebagaimana kasus yang terjadi di Desa Sibual buali berdampak pada sulitnya mendapatkan keharmonisan dalam rumah tangga, dan sering terjadi pertengkaran walaupun tidak sampai cerai.
Dalam rumusan masalah peneliti merumuskan pokok masalah yang menjadi bahasan peneliti, yaitu mengapa orang tua mengedepankan otoritasnya dalam memaksa kawin anak usia 21 tahun di Desa Sibual buali? Dan Bagaimana tinjauan Kompilasi Hukum Islam terhadap otoritas orang tua dalam memaksa kawin anak usia 21 tahun?
Dalam batasan istilah bertujuan untuk mengarahkan pemahaman lebih fokus dalam penelitian objek sesuai dengan yang inginkan, peneliti membatasi istilah agar memudahkan pembaca dalam memahami penelitian ini, yaitu "otoritas" dan "memaksa" yang sama-sama berarti meminta dengan paksa. Dalam fiqh pada bab nikah menjelaskan bahwa yang dapat memaksa nikah adalah wali mujbir.
Metode penelitian yang digunakan oleh peneliti adalah sebagai berikut:
Observasi merupakan metode yang digunakan dengan melakukan pengamatan secara langsung terhadap fenomena-fenomena yang akan diteliti.
Interview adalah suatu metode penelitian untuk tujuan suatu tugas tertentu dengan menggali pertanyaan dari narasumber secara lisan dari narasumber.
Metode analisis data merupakan analisis dan pengolahan data penulis lakukan dengan cara Analisis deduktif yaitu membuat suatu kesimpulan yang umum dari masalah yang khusus, dan Analisis induktif yaitu membuat kesimpulan yang khusus dari masalah yang umum.
Sistematika pembahasan merupakan suatu rangkaian urutan pembahasan dalam penulisan karya ilmiah. Dalam kaitannya dengan penulisan skripsi ini, sistematika pembahasan dalam penulisan penelitian ini disusun dalam lima bab.

BAB II

Pada bab kajian teoritis ini menjelaskan mengenai otoritas orang tua terhadap anak, hak dan kewajiban orang tua terhadap anak, dan perwalian menurut Kompilasi Hukum Islam.
Otoritas merupakan kekuasaan atau wewenang orang tua terhadap anak, mengenai harta dan diri dari anak, sebagaimana KHI Pasal 107 Ayat 2 menerangkan bahwa perwalian meliputi perwalian terhadap diri dan harta kekayaannya. Namun hal ini hanya berlaku bagi anak yang berusia dibawah 21 tahun dan belum pernah menikah. Ketika anak sudah berusia 21 tahun maka berakhirlah kewenangan orang tua terhadap anak.
Terkadang banyak orang tua yang mengedepankan kewenangannya kepada anak. Salah satu kewenangan yang sering terjadi adalah memaksa anak untuk menikah. Padahal dalam KHI sudah diatur dengan jelas bahwa diperlukan persetujuan dari calon mempelai yang dapat berupa jawaban secara lisan, tulisan, maupun isyarat. Dapat juga dengan diam selama tidak menyatakan penolakan.
Sesuai dengan ketentuan yang berlaku bahwa anak yang berusia 21 tahun sudah dipandang dewasa dan mampu menentukan nasibnya sendiri. Sehingga kewenangan orang tua terhadap anak berusia 21 tahun sudah berakhir. Dan anak berhak menentukan pilihan hidupnya sendiri terutama dalam menentukan pasangan, sehingga orang tua sudah tidak dapat menikahkan anaknya secara paksa.
Mengenai hak dan kewajiban orang tua dapat dilihat dalam KHI Pasal 110 ayat (1), Pasal 106 ayat (1), Pasal 106 ayat (2), Pasal 111 ayat (1), dan Pasal 98 ayat (2).
Perwalian merupakan kewenangan yang diberikan kepada seseorang untuk melakukan sesuatu perbuatan hukum sebagai wakil untuk kepentingan dan atas nama anak yang tidak mempunyai orang tua atau masih memiliki orang tua tetapi tidak cakap untuk melakukan perbuatan hukum.
Berdasarkan Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2) KHI menjelaskan mengenai macam-macam wali. Pasal 20 ayat (1) berbunyi, "Yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam yakni muslim, aqil dan baligh". Sedangkan Pasal 20 ayat (2) berbunyi, "Wali nikah terdiri dari wali nasab dan wali hakim".
Wali nasab adalah laki-laki muslim yang masih memounyai hubungan darah atau keturunan dengan calon pengantin perempuan. Terdapat urutan orang-orang yang dapat menjadi wali nikah bagi calon mempelai perempuan, yaitu:
Kerabat laki-laki garis lurus keatas.
Kelompok saudara laki-laki sekandung atau seayah dan anak keturunan mereka.
Kelompok kerabat paman.
Kelompok saudara laki-laki kandung kakek, saudara laki-laki seayah kakek dan keturunan laki-laki mereka.
Wali yang paling berhak untuk menikahkan anak perempuan adalah ayah, karena sebab ayak anak itu ada. Ayah dan kakek serta garis lurus ke atas merupakan wali mujbir yang dapat memaksa anak menikah dengan batas wajar. Apabila semua wali nasab tidak ada, maka yang dapat menikahkan adalah wali hakim.
Wali hakim merupakan wali nikah yang ditunjuk dengan kesepakatan para calon pengantin untuk menikahkan mereka. Wali hakim dapat menikahkan pengantin apabila calon pengantin tidak memiliki wali nasab dengan kendala, sebagai berikut:
Walinya sudah mati semua.
Wali akrabnya sudah lama menghilang tanpa berita.
Wali akrabnya adhal.
Pengadilan Agama dapat mencabut hak perwalian seseorang atau badan hukum dan memindahkannya kepada pihak lain atas permohonan kerabatnya bila wali tersebut pemabuk, penjudi, pemboros, gila, dan melalaikan atau menyalahgunakan hak serta wewenangnya sebagai wali demi kepentingan orang yang berada di bawah perwaliannya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline