"1969, tahun kelahiran seorang anak perempuan yang tak diinginkan. Akibat tidak terencana, sang ibu selalu menyalahkan anak tersebut. Setiap kesalahan selalu ditampung untuk dimuntahkan kepada anak perempuan tersebut."
Satu tahun sebelum ibuku lahir, lahirlah seorang putra yang diberi nama Damar, ia sehat dan tubuhnya memang kuat. Belum genap 2 tahun, ibuku lahir. Mariani lahir walaupun termasuk prematur. Ibu Marlis, seorang perempuan muda usia 20an yang berambut panjang itu di tahun 68-69 sangat-sangat kesulitan dalam merawat dua anak sekaligus. Suaminya bertugas di sumatera dalam menghadapi pasukan yang ingin memisahkan diri dari Indonesia, Marlis harus bersabar walau kadang menghujam anak-anaknya dengan sumpah serapah tanda kelelahan.
Bertahun-tahun berlalu, di saat si anak makin dewasa, persaingan antara Damar dan Mariani makin terlihat. Dimulai sejak masa sekolah, Damar selalu merebut barang yang dimiliki Mariani misalnya pensil, buku, bahkan boneka. Seakan tak pernah senang adiknya memiliki barang terbaru. Namun di satu sisi, Damar juga peduli tapi tidak terlalu memperlihatkan tanda sayang untuk adik perempuan nya itu.
Setelah bersekolah di jenjang SMP, lahirlah adik Mariani yang diberi nama Muhtar. Muhtar termasuk adik yang aktif, rupawan dan memang sangat disayangi karena anak terakhir. Muhtar menjadi anak yang dimanja dan bertahun-tahun hingga Muhtar menginjak bangku sekolah lanjutan, kenakalan Muhtar semakin menjadi dimulai dari bermain perempuan, bermain judi dan di era tahun 90an sudah mengenal beberapa jenis obat dengan alasan "surgawi".
Kenakalan itu berlanjut namun Muhtar termasuk yang cerdas karena berkat kepiawaian dalam bergaul, ia berhasil menduduki jabatan bagus di sektor perbankan. Itu semua ada campur tangan Mariani, yang terlebih dahulu memasuki dunia bank sebelum collapse karena gempuran krismon 1998.
-------
Bertahun-tahun selanjutnya, Mariani telah menikah dengan seorang lelaki dan memiliki 3 orang putri. Damar memiliki 3 orang anak begitu juga Muhtar yang memiliki 2 orang anak. Damar bekerja di sektor industri walaupun harus menerima nasib karena di-PHK. Akhirnya berkat kebesaran hati sang ayah, Damar diberikan rumah tepat di sebelah rumah ayah dan ibu, dengan maksud agar selalu menjaga ayah-ibu yang sudah lansia.
Kehidupan berjalan normal, hingga suatu ketika Mariani memiliki pertengkaran hebat dengan suaminya, Mariani harus pulang ke rumah ayah-ibunya. Namun sekali lagi, ini semua karena ulah Mariani yang memang sedari awal menikah tidak pernah disetujui.
Alih-alih menenangkan, ayah-ibu Mariani lantas setuju agar berpisah dengan suaminya. Hingga suatu ketika datanglah seorang pria berpostur besar, gemuk yang mengaku sebagai pemain wayang di Jawa, seorang duda. Mengetahui hal tersebut, tentu sang suami sakit hati. Segera mereka pisah namun tidak melalui proses pengadilan.
Tahun 2016 sang ayah meninggal, kejadian itu membuat sedih cucu-cucunya. Dari sekian cucu, hanya anak dari Mariani yang sedih karena hanya anak Mariani yang dekat dengan kakek dan neneknya itu.
Kehidupan makin berjalan tak karuan, manakala Damar sudah memegang sertifikat rumah milik ortu mereka. Tersisa ibunya, yang selalu membela kedua anak laki-lakinya itu. Anak laki-lakinya yang menurutnya akan membawa dirinya ke surga.