Pagi menuju siang, sudah lama sekali rasanya. Suara abah yang dahulu duduk di ayunan sembari melamun tak karuan membuatku menangis karena mengingatnya. Biasanya hanya abah yang menjadi teman bicara ku, dibandingkan beberapa anggota keluarga lain yang memiliki kesibukan masing-masing.
Abah,
Sudah lama tak mengenang dirimu. Diary ini ku buat karena hanya dengan tulisan, hati ku dapat mengungkap.
Sembari membaca koran Pos Kota dengan berita dengan ragam judul yang nyeleneh, diriku ikut membaca bersama ia seorang. Ayunan itu terus bergerak dengan iringan suara "ngik" Secara terus menerus. Abah mempersilahkanku untuk membaca lembar koran yang sebelumnya telah dibaca. Sesekali meminta untuk diriku memijat bagian jidatnya. Pijatan itu layak syarat agar kisah hidupnya dapat disampaikan kepadaku, dan menjadi aset mewah yang ku punya untuk bisa diceritakan kembali ke orang-orang termasuk anak-keturunanku kelak.
"Abah, gimana hidup zaman penjajahan dulu?". Tanya diriku yang pada akhirnya abah membawaku untuk mengetahui kehidupan masa kecilnya di desa Kadatuan, Majalaya, Bandung Jawa Barat. Sebuah wilayah yang asri, dengan panorama pegunungan yang ciamik dan terlihatnya gunung tinggi yang berpusat di wilayah Garut itu. Abah mendeskripsikan hidupnya sebagai " Orang non-priyayi yang dengan berusaha dapat menjadi manusia yang bisa dipandang oleh orang lain.
Hidup di zaman yang susah, dengan pemberontakan yang mencekam.
Abah mulai bercerita, diawali dari kehebohan masyarakat desa soal pemberontak yang katanya bakal turun gunung. Sebagian desas-desus itu mulai dipercayai warga untuk makin berhati-hati setiap waktu. Aparat keamanan yang juga diisi oleh rakyat mulai meminta warga desa khususnya lelaki untuk berpartisipasi menjaga kampung dari para gerombolan. DI/TII yang mengaharumkan nama Kartosoewirjo dan atas nama Islam memang mulai menjadi momok yang sebenarnya harus ditakuti, bagaimana tidak?
Abah bercerita sembari menutup mata nya, entah karena ia ngantuk atau mencoba mengingat. "Di desa sebelah, ada ibu-ibu yang ditusuk perutnya padahal sedang hamil besar". Sontak saja, masyarakat geger dan ketakutan. Abah melihat sendiri bagaimana jasad sang ibu itu jadi tontonan dan banyak rumah yang dibakar hanya karena satu alasan " Menjarah pangan" Milik warga.
Gerombolan itu semakin menjadi manakala presiden Soekarno semakin menunjukan pandangan tengahnya antara pemikiran dinamisnya terhadap doktrinisasi agama. Kedua hal yang memang sulit disatukan, di zaman berciri ekonomi timpang. Masyarakat yang serba kekurangan saat itu berusaha menjaga aset miliknya, termasuk hewan enak atau bahkan nyawa di sekitarnya.
Ibu dari abah saat itu yang dikenal memiliki keahlian magis menjadi wadah masyarakat untuk diminta tolong, jika kekuatan fisik bisa dilakukan oleh manusia lain yang kasat mata tak ada salahnya mencoba hal-hal magis sebagai bagian dari kultur saat itu. Ibu mulai membaca doa-doa dan sesekali menyuruh anak-anak dan kaum ibu untuk bersembunyi di bawah kolong kandang bebek. Bagi abah, malam itu sangat mencekam. Dialog bahasa Sunda yang dipakai para gerombolan saat memasuki rumah juga menginformasikan bahwasanya mereka itu orang-orang yang lapar. Pepatah yang mengatakan manusia tidak kuat tahan lapar itu semakin terbukti, manakala beras yang berkutu saja ikut diambil.
Esoknya, warga mendapat kabar bahwa desa sebelah habis dibakar karena warga nya banyak yang melawan. Mulai hari itu keamanan diperketat sebelum akhirnya tentara mengambil alih dengan melakukan tindakan susur gunung Gember di wilayah Majalaya yang berhasil menangkap sang amir, Kartosoewirjo.