Lihat ke Halaman Asli

Rika Salsabila Raya

Jurnalisme dan ibu dua anak

Pemimpin dan Bukan Soal Cara Berpakaian

Diperbarui: 12 Oktober 2023   17:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Pemilu 2024 semakin dekat, ancang-ancang partai yang berkoalisi semakin ganas. Partai besar semisalnya, mulai menampakan sosok calon presiden dan wakil presiden agar masyarakat dapat memulai penilaian secara singkat. 

Mengenai pemilu, layaknya momen sebagai bagian dari wujud nyata demokrasi prosedural, meskipun demokrasi tidak sama dengan pemilihan umum, namun pemilihan umum merupakan salah satu aspek demokrasi yang penting. Huntington (1991:9) dalam (Arifin,2014:85) menjelaskan bahwa pemelihan umum atau pemilu dapat bersifat bebas dan makna "bebas"merupakan definisi minimal demokrasi yang sehat. Sehat dalam arti terdapat tindakan politik atau perilaku politik pemilih sebagai bagian dari partisipasi politik warga negara, keikutsertaan ragam partai dan meriahnya warga negara untuk mengikuti kegiatan pemilu. 

Pemilu secara realistis menurut Cole adalah sarana kompetisi untuk meraih kekuasaan di pemerintahan. Lantas, banyaknya partai politik yang berminat maju dalam pemilu tahun 2024 juga harus memiliki beberapa kriteria agar dapat meraih suara yang banyak demi tercipta kondisi di mana partai dan koalisinya dapat memegang kekuasaan di lingkup pemerintahan. 

Soal Identitas Calon Presiden dan Wapres 

Dalam konstitusi kitab UUD 1945 tepatnya di dalam pasal 6A, menyatakan bahwa Pasangan Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik. Hal ini terlihat bahwa Indonesia menganut sistem multi partai karena yang berhak mengajukan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden adalah partai politik atau gabungan partai politik. 

Sedikit mengulas sejarah, sistem pengusungan calon presiden dari partai sebenarnya dimulai dari beredarnya Surat Keputusan Wakil Presiden Hatta No. X/1949 yang merupakan proses dilaksanakannya sistem multipartai di Indonesia. Hasilnya, banyak partai saat ini mulai mencari figur yang sebelumnya sudah dikenal oleh masyarakat baik di suatu wilayah provinsi atau minimal terkenal di masyarakat secara eksplisit (akibat terpaan media atau memang sudah memiliki rekam sebagai politisi sebelumnya). 

Masyarakat dengan penilaian singkat dapat merasa cocok dan memiliki rasa mirip dengan dua figur calon pemimpin hanya karena asal partai pengusung. Contohnya, suara signifikan pada pemilu pertama Indonesia antara lain PNI dengan perolehan suara 22,32% (di mana slogan nasionalis membangkitkan harapan masyarakat). Masyumi dengan dukungan suara 20,92%, NU dengan perolehan suara memcapai 18,41% (Latar partai Islam yang diharapkan dapat menjalankan pemerintahan sesuai syariat) dan PKI memperoleh dukungan suara sebesar 16,36% yang didukung oleh sebagian besar wong cilik.

Dua contoh pengaruh identitas calon pemimpin yang erat dengan profil partai antara lain saat pemilu 2019 di mana pasangan Jokowi-Amin merupakan figur yang mewakili partai Banteng yang didominasi pendukungnya dari kalangan masyarakat Jawa dan Kyai Ma'ruf Amin yang mewakili figur khas Jawa-Timuran, tak lain mengincar kalangan agamis dan orang Jawa pada umumnya. 

Contoh selanjutnya adalah gebrakan identitas Prabowo yang sedikit meniru gaya berpakaian dari Ir. Soekarno dengan peci hitam yang sekaligus mewakili golongan pemuka Islam. Hal ini bukan tanpa sebab, identitas tersebut mengikuti suara dominan yang di Indonesia sendiri memiliki suara penganut Islam dominan dan mayoritas suku Jawa. 

Hal ini juga berimbas terhadap tindakan black campaign yang membawa identitas pribadi untuk dapat menjadi bahan celaan satu sama lain. Sedikit mundur ke belakang, pemilu 2019 diwarnai aksi black campaign antar pendukung yang membawa bahan hinaan pribadi calon pemimpin. Misalnya rekam jejak Prabowo dalam kasus penculikan aktivis 1998 dan turut membawa sosok Antasari Azhar dalam menyinggung koalisi Gerindra saat itu. 

Jokowi juga diselimuti kabar soal kedekatan hubungan dengan kroni-kroni asing yang menyimpulkan bahwa negara dapat dijual ke tangan asing dan Jokowi dikabarkan memiliki darah asing. Semua narasi itu tak lepas dari peran para pendukung partai dan identitas calon masing-masing. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline