Lihat ke Halaman Asli

Memahami Kasus Pulau Rempang Hingga Indikasi Pelanggaran HAM

Diperbarui: 24 September 2023   19:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Tempat terjadinya protes dan bentrokan antara masyarakat setempat dengan aparat dalam beberapa hari terakhir, Pulau Rempang secara administratif merupakan bagian dari Kota Batam yang terbagi menjadi bekas Kawasan Hak Guna Usaha (HGU), kawasan hutan, dan Kampung Tua.

Pulau Rempang merupakan salah satu pulau yang rencananya akan mendapat hak administratif dari Otorita Batam, dan sesuai Peraturan Pemerintah No. 46 Tahun 2007 berubah nama menjadi  Kawasan Perdagangan Bebas Batam dan Badan Pengusahaan Freeport.

Rempang Eco City merupakan proyek pengembangan PT Makmur Elok Grahan (MEG). Pulau Rempang rencananya akan dikembangkan menjadi kawasan industri, jasa, dan pariwisata. Sengketa Pulau Rempang bermula ketika lahan di pulau itu seluas 7.572 hektare  menjadi kawasan sasaran Proyek Strategis Nasional (PSN) yang akan dibangun sebagai pabrik kaca.  Belum lama ini, terjadi bentrokan antara petugas Divisi Pengamanan Badan Niaga Batam dan TNI, Polri serta warga Pulau Rempang di Kota Batam, Kepulauan Ria, terkait sengketa tanah.

Suara masyarakat Pulau Rempang yang menolak pembangunan proyek ini seolah tidak dihiraukan, warga menyadari bahwa sebagai masyarakat kecil, mereka tidak bisa melawan hukum dan kekuasaan selain bertahan hidup. Rencananya, warga Pulau Rempang  akan direlokasi ke Dapur 3 Kelurahan Sijantung yang nilai sewa apartemennya Rp 1,2 juta per bulan atau apartemen yang disediakan BP Batam.

Membaca catatan sejarah Traktat London 1824, keberadaan Kampung Tua di Batam dan sekitarnya sudah  lebih dari 188 tahun serta masa kejayaan Kerajaan Lingga, Kerajaan Riau, Kerajaan Johor, dan Kerajaan Pahang Malaya.

Traktat London tahun 1824  memisahkan Kerajaan Lingga dan Kerajaan Riau  sebagai wilayah jajahan Belanda, sedangkan Johor dan Pahang Malaya menjadi wilayah jajahan Inggris.

Dari lapangan terlihat fakta bahwa masih terdapat berbagai jenis pohon yang tumbuh di kawasan Kampung Tua, seperti pohon kelapa yang diperkirakan berumur lebih dari 70 tahun atau  tumbuh sebelum Peraturan Presiden Nomor 41. tahun 1973. .

Pasal 1 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2014  Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat menegaskan keberadaan Masyarakat Hukum Adat Kampung Tua di Batam. Berdasarkan informasi yang diterima, masyarakat adat yang tinggal di Pulau Rempang  telah hidup secara turun temurun sejak tahun 1834.

Mahfud MD, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, mengatakan kejadian tersebut bukanlah "usaha mengusir investor" melainkan "proses pelepasan tanah kepada pemilik hak administratif pulau".

Sebelumnya, Badan  Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam (BP Batam; dahulu bernama Otorita Batam) menjelaskan, pemerintah pusat bekerja sama antara BP Batam dan PT Makmur Elok Graha sedang mempersiapkan Pulau Rempang sebagai pusat industri, komersial, dan kawasan wisata terpadu. Hal itu harus meningkatkan daya saing Indonesia dibandingkan Singapura dan Malaysia.

Sebenarnya rencana pengembangan Pulau Rempang bukanlah hal baru. Sejak BJ Habibie menjabat Presiden Kota Batam pada tahun 1978, Pulau Rempang dan tetangganya Pulau Galang rencananya akan dimasukkan dalam perluasan kawasan industri Pulau Batam dengan konsep Barelang (Batam-Rempang-Galang). Tujuannya agar Batam  lebih luas  dan berdaya saing dibandingkan Singapura.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline