Kira-kira 15 tahun silam saya mendatangi acara syukuran baptis dari anak sepupu saya. Selayaknya orang Batak yang berkumpul, tidak afdhol dong kalau belum mandokhata, alias mengucapkan sepatah dua patah kata/paragraf/kalimat/esai pada yang empunya hajatan.
Seorang sepupu bilang begini kepada orang tua dari anak yang dibaptis:
"Kakak, Abang, ingatlah kalau di pesawat terbang ada perubahan tekanan udara, pramugari akan menyuruh kita yang orang dewasa untuk memakai masker oksigen terlebih dahulu, sebelum menolong orang lain, termasuk anak kita sendiri. Janganlah sebagai orang tua, Kakak dan Abang lupa merawat diri karena sibuk merawat anak."
Bertahun-tahun kemudian setelah saya memiliki 1, 2, dan kemudian 3 anak, saya masih mengingat dan mengamini betul kata-kata si sepupu. Bagaimana mungkin saya merawat anak saya dengan beres kalau saya menelantarkan diri sendiri? Saya harus merawat diri sendiri secara fisik, mental, dan psikis supaya bisa maksimal dalam melayani orang lain, dalam hal ini keluarga inti saya.
IKATAN BATIN DI ANTARA ORANGTUA DAN ANAK
Orang tua dan anak pada umumnya memiliki ikatan batin yang kuat. Orang tua dapat merasakan apa yang anak rasakan dan sebaliknya. Ketika perasaan itu tidak terdefinisi, ada insting yang bekerja bahwa sesuatu sedang tidak beres, sesuatu sedang akan terjadi, dan hal-hal semacam itu.
Waktu saya duduk di bangku SMA kedua orang tua saya bertengkar hebat, entah tentang apa. Saya lupa, ayah dan ibu saya pun lupa karena itu sudah hampir 25 tahun lalu. Begitulah manusia, sesudah isunya lewat barulah tersadar. Oh cuma segitu aja, ngapain gua waktu itu heboh banget. This too shall pass dan penyesalan selalu datang belakangan, nggak kayak pendaftaran.
Ketika itu keluarga kami masih berinteraksi dan beraktivitas dengan normal, tapi di bawah radar saya gelisah sekali. Rasanya seperti tahu gempa bumi itu sudah datang, tapi saya masih terpaku di depan alat pengukur kekuatan gempa menunggu jarumnya menunjukkan angka 8 skala Richter. Something big was coming and it was explosive.
Pada bulan-bulan pertama saya menjalani peran sebagai ibu rumah tangga, kedua orang tua saya rajin menelepon tanpa alasan. Dan timing-nya selalu tepat. Ibaratnya seperti mendengus pada diri sendiri dan mengeluh 'aku capek banget, aku kesepian banget, nggak ada orang yang mengerti aku', dan tak lama kemudian HP berbunyi karena Bapak atau Mama akan menelepon buat menanyakan kabar (yang sebenarnya baru ditanyakan kurang dari 24 jam sebelumnya).
Demikian kuatnya ikatan batin dan bisa dibilang telepati di antara orang tua dan anak tanpa memandang waktu dan jarak, bahkan setelah anaknya berumah tangga, sehingga saya selalu mawas diri akan kondisi emosi saya yang bisa memengaruhi kondisi emosi anak.