Lihat ke Halaman Asli

Rijo Tobing

TERVERIFIKASI

Novelis

Memaknai Kerinduan dalam Buku Puisi "Tidak Ada New York Hari Ini"

Diperbarui: 28 Februari 2021   00:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Buku "Tidak Ada New York Hari Ini"karya M. Aan Mansyur

Membaca buku puisi bagiku adalah ibarat duduk di bangku taman bersama seorang kawan, mata memandang lurus ke depan untuk menikmati pemandangan, sambil telinga mendengarkan percakapan demi percakapan yang dibuka.

Semua dimulai dengan sapaan "apa kabar", lalu dilanjutkan dengan pembicaraan yang mendalam. Aku mengalami ini, apakah kamu mengalaminya juga? Aku berpendapat begini, kira-kira apa pendapatmu? Aku merasakan ini, aku ingin tahu apakah kamu pernah merasakannya. Dan seterusnya.

Membaca buku puisi adalah perkara berbagi pengalaman paling intim dan berbekas di kalbu. Untaian kata mungkin tidak bermakna dan tidak terlihat indah, jika tidak ada sekelebatan peristiwa, seuntai kejadian latar belakang yang sama-sama dialami oleh si pencipta dan pembaca puisi.

Pada banyak kasus, buku puisi tidak meninggalkan kesan pada pembaca karena tidak ada irisan kenangan itu, yang membuat pembaca mengangguk-angguk dan berkata dalam hati: "Aku tahu persis apa yang kamu bicarakan. Aku mengerti betul apa yang kamu maksud."

Buku kumpulan puisi karya M. Aan Mansyur yang berjudul "Tidak Ada New York Hari Ini" adalah buku kumpulan puisi pertama yang aku baca sampai habis, baca sebanyak dua kali, dan baca dalam dua bahasa, Indonesia dan Inggris. Pada banyak fragmen aku mengerti perasaan yang ingin disampaikan oleh M. Aan Mansyur. Pada semua bait aku menangkap satu perasaan yang terkubur dalam, disampaikan dengan romantis, dan disimpan rapat kembali karena ia terlalu menyakitkan.

Rindu.

Itulah perasaan yang aku tangkap dari buku setebal 81 halaman untuk bait demi bait yang ditulis dan kemudian diterjemahkan pada halaman sesudahnya.Dari ratusan baris dan mungkin ribuan kata, hanya ada satu frasa yang menohok hatiku.

"Kau yang panas di kening. Kau yang dingin di kenang."

Bukankah itu kerinduan? Yang ketika mampir ke pikiran, membuat semua roda gigi yang sudah lama membeku di otak seperti mendapat minyak baru untuk kembali berjalan, bergesekan, dan berirama. Dari energi kembali ke energi. Energi tidak pernah hilang, ia hanya berubah bentuk dari satu bentuk ke bentuk lainnya. Dari energi rindu timbullah energi panas, ketika roda gigi memori di kening itu kembali berputar, mengingatkan apa yang sudah lampau, dan menimbulkan penyesalan akan apa yang mungkin tapi mustahil.

Akan tetapi, bukankah manusia makhluk yang berakal panjang tapi beringatan pendek, yang suka mengenang tapi mudah melupakan? Bukankah kerinduan yang meluap-luap dan yang menggebu-gebu di benak, yang membelit hati seperti tanaman rambat dan menimbulkan panas yang menghangatkan, seiring berjalannya waktu akan mendingin?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline