Pelan-pelan kubuka jendela yang menghadap ke taman belakang rumahku. Kutengok ke dalam, sekelebat saja. Kulihat empat orang sedang duduk santai mengelilingi meja makan.
Di ujung meja ada suamiku. Tujuh bulan kutinggalkan dan rambutnya tambah menipis. Ada garis kerutan di sekitar matanya, tanda dia sedang tertawa. Waktu aku pergi sepasang mata itu bengkak, air mata turun tak habis-habis. Sekarang ada binar jenaka, lega, dan ... cinta?
Tunggu, tunggu, apa yang sedang terjadi?
Aku menoleh ke ujung yang satu lagi tempat anakku yang sulung duduk. Dia tampak mencuri pandang ke arah seseorang. Keningnya berkerut, bibirnya terkatup. Aku tahu bahwa dia sedang menahan diri. Aku mendekatinya dan kurasakan aura di atas ubun-ubunnya. Panas, tanda kemarahan yang akan meledak.
Kuikuti pandangan tajam anakku itu dan mataku tertumbuk kepada anak bungsuku. Sambil memutar-mutar spageti dia terkekeh. Mulutnya belepotan karena bicara terlalu cepat. Dadanya naik-turun karena terlalu bersemangat. Senyumnya merekah ketika kepalanya ditepuk mesra oleh orang yang duduk di sebelahnya.
Dengan berisik kukitari meja makan itu. Sepuluh kali, dua puluh kali, lima puluh kali, semakin lama semakin cepat. Namun efek angin ribut yang kuinginkan tak kunjung tercipta, yang ada hanya angin sepoi-sepoi bertiup di ruang makan itu.
Anakku yang bungsu menggigil.
"Tolong tutup jendelanya, Mas," kata suamiku.
"Biar Adik aja yang tutup sendiri."
"Mas!" suamiku menukas. "Jangan bikin Papa malu!"