Namaku Geum Jan Di. Aku seorang gadis biasa yang bersekolah di sekolah untuk anak-anak dari kalangan elit. Mengapa aku bisa bersekolah di situ? Ceritanya panjang dan pasti tidak menarik hatimu, wahai para Pembaca yang bosan dengan cerita ala Cinderella.
Namun apa mau dikata? Jalan hidupku tiba-tiba bertautan dengan sekolah itu, dengan orang-orang yang ada di dalamnya, dalam sekejap mata dan hanya karena sebuah kebetulan. Kebetulan keluargaku memiliki usaha penatu. Kebetulan ketika aku mengantarkan pakaian bersih ke sekolah itu, aku menyelamatkan salah seorang siswanya yang hendak bunuh diri karena tidak tahan dirundung oleh F4.
Semua kebetulan terjadi secara yah itu, kebetulan. Namun urutan peristiwanya dan akibat yang ditimbulkannya pada diriku dan kehidupanku persis seperti di dalam dongeng.
Jika setiap dongeng ditorehkan untuk berakhir indah oleh penulisnya, maka tidak demikian dengan dongeng yang kujalani. Sejauh ini hanya lembah dan jurang neraka yang kujalani. Semua gara-gara seorang pria kekanak-kanakan dan gerombolan kacung yang selalu mengintil di belakangnya.
Nama pria itu adalah Gu Jun Pyo dan dia bersahabat sejak kecil dengan Yoon Ji Hu, So Yi Jung, dan Song Woo Bin. Orang bilang mereka berempat adalah sahabat kental, kedekatan mereka lebih daripada saudara kandung sendiri, tapi sejauh yang kuperhatikan itu semua hanyalah kebohongan belaka.
Itu semua hanyalah ilusi dari tiga orang pria yang sebenarnya adalah dayang-dayang Jun Pyo. Mereka ingin dicap sebagai sahabat, padahal sahabat mana yang mengangkat salah satu dari mereka untuk menjadi pemimpin? Sahabat mana yang selalu berjalan di belakang, selalu melakukan apa yang disuruh oleh si pemimpin itu?
Pada benakku, hubungan persahabatan adalah hubungan yang setara. Untuk soal sederhana seperti makan di mana, mau melakukan apa, tidak perlu menunggu komando dari salah satu orang. Semua orang yang terlibat di dalam persahabatan itu berhak untuk memberikan pendapat, berhak untuk tidak setuju, berhak untuk mengajukan keberatan.
Tidak demikian dengan Jun Pyo dan tiga orang pria yang selalu menempel padanya. Mereka akan selalu menuruti apa kata Jun Pyo; mereka tidak pernah melawannya sedikit pun. Bahkan mereka tanpa berpikir dua kali akan ikut merundung orang-orang yang tidak menyukai dan menentang Jun Pyo dan kawanannya.
Melihat hal itu, aku protes keras. Tidak hanya dalam hati, tapi juga kuucapkan langsung. Tidakkah ketiga pria itu manusia-manusia mandiri yang memiliki pendapat sendiri? Tidakkah mereka memiliki nilai moral, belas kasihan, yang membuat mereka menahan diri untuk menyakiti orang lain? Walaupun mereka merasa paling berkuasa karena mereka paling kaya, paling tampan, dan paling segala-galanya di sekolah?
Omong-omong, aku tidak yakin mereka berempat adalah siswa-siswa paling pintar, karena ya ampun Jun Pyo sebagai seorang anak SMA punya pengetahuan umum yang cetek sekali. Aku tak segan untuk menertawakan kebodohan dan kekurangan wawasannya.
Sayang sekali, keberatan-keberatan yang aku ajukan hanya disambut dengan tawa sinis dan pandangan mencemooh dari mereka bertiga. Seakan-akan aku tak tahu apa yang membuat mereka rela menjadi alas kaki Jun Pyo, apa yang membuat mereka pura-pura tidak mengetahui semua kebengisan yang diakibatkan oleh kepribadiannya yang kerdil.