Lihat ke Halaman Asli

Rijo Tobing

TERVERIFIKASI

Novelis

Jangan Terbiasa Mengkritik Guru Lewat "Group Chat"

Diperbarui: 27 Juli 2020   19:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi murid dan guru (TOTO SIHONO) via Kompas.com

Beberapa hari lalu teman saya mengirimkan tangkapan layar seorang wali murid yang mengkritik guru melalui grup Whatsapp. Beliau tidak hanya mengkritik satu orang guru, tapi semua guru yang mengajar anaknya. Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) di sekolah anak teman saya itu memberlakukan satu grup Whatsapp untuk setiap mata pelajaran.

Jadi kebayang ya totalnya ada berapa grup Whatsapp yang harus dipantengin setiap hari? Lebih dari jumlah jari tangan pastinya. Dan ada berapa grup yang menerima pesan komplain tersebut? Sebanyak jumlah mata pelajaran yang diajarkan di sekolah itu.

Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) memang merupakan tantangan tersendiri bagi semua yang terlibat di dalam dunia pendidikan, entah itu sekolah, siswa, dan orang tua. Kita menghadapi situasi luar biasa yang membuat kita bereksperimen mencari cara belajar, mengajar, dan penilaian yang paling baik untuk semua pihak yang terlibat.

Sumber ilustrasi: shutterstock.com

Tidak ada cara yang mutlak benar dan salah yang bisa diterapkan oleh semua pihak tanpa terkecuali selama pandemi ini. Yang ada hanya cara yang dinilai sesuai atau tidak sesuai, yang fleksibel dan situasional, untuk diterapkan di satu sekolah, satu wilayah, atau satu negara berdasarkan kondisi yang berkembang.

PSBB mendadak yang diputuskan pada bulan Maret lalu membuat kita semua panik. Walaupun teknologi komunikasi sudah tersedia sejak lama, namun pelaku dunia pendidikan belum merangkul teknologi itu untuk mendukung proses pembelajaran. Apalagi untuk tergantung sepenuhnya padanya karena tidak ada kemungkinan tatap muka langsung antara guru dan murid.

Kita semua bernavigasi. Setiap sekolah, baik negeri maupun swasta, berpikir, mencari solusi, dan memutuskan sistem berdasarkan banyak pertimbangan dan perbincangan. Di situasi pandemi seperti ini adalah wajar jika semua urun rembuk demi kebaikan para siswa.

Saya tidak menganggap Kementerian Pendidikan berperan besar di dalam urun rembuk itu walaupun mereka mengklaim diri sudah melakukan beberapa gebrakan besar. Mereka meniadakan Ujian Nasional (UN), mengijinkan sekolah untuk tidak usah menyelesaikan kurikulum, dan menggaungkan slogan "Merdeka Belajar" tanpa penjelasan dan arahan untuk langkah konkretnya.

Ujian Nasional (UN) ditiadakan. Ini keputusan yang masuk akal karena pandemi mengharuskan kita untuk menjaga jarak dan tidak berkerumun. Lagipula output yang diharapkan dari sebuah ujian tidak sebanding dengan resiko kesehatan yang harus ditanggung oleh semua orang yang terlibat.

Kurikulum tidak usah diselesaikan selama pandemi. Kalau pandemi bisa dipastikan selesai dalam beberapa bulan ke depan, ini keputusan yang wajar. Namun jika pandemi berlangsung lama, bertahun-tahun seperti kata beberapa ahli epidemiologi atau bahkan tidak pernah hilang dari muka bumi seperti kata ahli lainnya, maka kurikulum yang kompleks dan komprehensif yang kita punya apa mau dianggurkan begitu saja?

Kalau siswa terus belajar sesuai persyaratan minimal kurikulum, bayangkan bagaimana tertinggalnya bangsa kita pada akhir pandemi nanti (yang entah kapan). Saya pernah bertanya di akun Instagram @masmenteri tentang kurikulum ini, apakah akan diubah, diringkas, atau dirombak untuk mengantisipasi PJJ yang berlangsung lama akibat pandemi. Pertanyaan saya, seperti biasa, tidak dijawab.

Merdeka Belajar. Jika Kementerian Pendidikan mau mendorong siswa mempelajari hal-hal yang sesuai minatnya, maka hendaknya mereka menyediakan sarana untuk memfasilitasi hal itu. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline