Judulnya panjang ya? Mungkin sepanjang sejarahmu dengan para mantan jika jalanmu berliku-liku untuk mendapatkan pasangan hidup. Namun mungkin saja kamu tidak pernah punya mantan, karena ia yang kamu temui adalah ia yang kamu pilih untuk yang pertama dan yang terakhir.
Bicara tentang mantan menyisipkan rasa nostalgia, sebersit penyesalan, dan pengandaian jika kamu waktu itu mengambil keputusan-keputusan yang berbeda. Jangan khawatir, mari kita bicara tentang mantan tanpa melibatkan hati. Buka arsip memorimu seperti membuka hard disk yang sudah mengendap beratus bulan sabit, dan bicara tentangnya selintas saja, tidak usah membawa perasaan.
Ini ceritaku.
Mantan bagiku adalah sebuah status yang tak kukehendaki, bagiku dan baginya. Sejak memasuki usia dewasa tujuanku hanya satu jika menyangkut cinta dan romansa, menemukan tambatan hati untuk sisa usia di muka bumi ini. Perasaan yang datang dan pergi kuabaikan, karena aku tahu, begitu hatiku tertambat banyak juga yang terlibat.
Orang tua. Keluarga besar. Wejangan dari mereka banyak karena aku perantau di tanah Jawa. Semua syarat dan nasihat kudengar baik-baik, tanpa membantah karena mereka sudah hidup lebih lama. Apalah asam dan garamku dibandingkan ladang dan laut yang sudah mereka garap?
Meskipun dalam hati kecil ada sedikit kekhawatiran, bagaimana jika calon suami tidak diterima, apakah aku terpaksa memihak? Pada keluarga aku terikat darah, pada cinta aku menambatkan masa depan. Sungguh, bagai makan buah simalakama.
Cerita yang pertama hanya berjalan beberapa purnama. Ia tidak layak untuk diperhitungkan, namun sebagai yang pertama ia tentu istimewa. Kami bertemu di bangku kuliah, seorang remaja dewasa yang selalu cemburu jika aku bicara dengan pria lain.
Saat itu hanya ada 30 orang wanita di tengah 100 orang mahasiswa di jurusanku. Kecemburuannya tidak masuk akal, bukan? Dengan cepat kuputuskan hubungan sebelum aku jadi gila karena tuntutan-tuntutannya. Tak ada air mata yang kutitikkan. Ternyata aku tidak cinta juga; aku hanya senang karena dicintai.
Cerita yang kedua terjadi saat aku terpisah dari orang tua. Kami bertemu di tempat yang jauh. Hanya 1 tahun kami bersama, tapi dia membuat duniaku berbeda. Dia tidak terlalu perhatian, sering mengecewakan, sulit mengerti aku, tapi aku cinta.
Pada hari aku kembali ke tanah air, tangisku pecah. Aku tahu itu adalah kali terakhir aku akan melihatnya langsung, karena tidak ada janji yang terucap dan tidak ada rencana yang dibuat. Kami berdua akan kembali ke negara dan kehidupan masing-masing dengan kenangan akan satu sama lain, dan sampai di situ saja.
Semua usaha untuk berkomunikasi tidak bertahan lama. Mungkin jarak ratusan ribu kilometer dan perbedaan waktu 12 jam menjadi penyebabnya. Mungkin juga hati kami sudah saling menjauh. Saat benar-benar mengucapkan selamat tinggal, aku tidak menangis.