Indonesia terkenal dengan julukan negara Megabiodiversity, di mana keanekaragaman flora fauna di Indonesia berada pada peringkat kedua setelah Brazil. Tingkat keunikan dari flora fauna dalam hal genetik, spesies, organisme, ekosistem, dan sistem ekologi di Indonesia sangat tinggi tidak lepas dari peran hutan tropisnya dan sejarah Indonesia yang pada mulanya terdiri dari 2 dataran yaitu dataran Sunda (Sundaland) di bagian barat yang menyatu dengan Benua Asia dan dataran Sahul di bagian timur yang menyatu dengan Benua Australia.
Hal ini menyebabkan Indonesia terbagi menjadi tiga wilayah persebaran flora dan fauna menurut penelitian dari Wallace dan Weber, yaitu flora fauna Dataran Sunda, flora fauna Daerah Peralihan, dan flora fauna Dataran Sahul. Antara Dataran Sunda dan Peralihan dipisahkan garis Wallace, sedangkan untuk Dataran Peralihan dan Dataran Sahul dipisahkan oleh garis Weber. Sehingga flora dan fauna Indonesia adalah pertemuan dari migrasi flora dan fauna kedua benua tersebut. Flora dan Fauna Dataran Sunda memiliki karakteristik yang hampir mirip dengan flora fauna di Dataran Asia.
Dataran Sunda ini meliputi pulau Sumtera, Jawa, dan Kalimantan. Sedangkan untuk Dataran Peralihan meliputi pulau Sulawesi, Maluku dan Nusa Tenggara yang memiliki karakteristik flora dan fauna yang dipengaruhi oleh benua Asia dan Australia. Sedangkan untuk Dataran Sahul yang meliputi Papua dan pulau-pulau kecil di sekitarnya, yang mana flora dan faunanya dipengaruhi oleh Benua Australia.
Berdasarkan penjelasan singkat di atas, dapat dikerucutkan bahwa keanekaragaman Indonesia sangat tinggi dan hal ini tidak terlepas dari peran geografis Indonesia, termasuk hutan tropis di dalamnya. Namun, keanekaragaman Indonesia makin mengalami kemerosotan. Kenapa?mungkin jawaban secara umumnya adalah Ekonomi, namun jawaban khusus dan eksplisitnya adalah deforestasi, eksploitasi, illegal trade, dan lain-lain.
Tentu hal ini sangat memprihatinkan, terlebih berdasarkan data dari FWI (2001), pada tahun 1950 hutan Tropis Indonesia memiliki luas yang mencapai 162 juta hektar. Namun secara mengejutkan 50 tahun setelahnya merosot menjadi 98 juta hektar. Kemudian pada tahun 2009, luas tutupan hutan di Indonesia makin mengalami keterpurukan menjadi 88,17 juta hektar, atau hanya tinggal 46,33% dari luas dataran Indonesia.
Hal yang sangat mampu dan cukup mumpuni untuk menghilangkan hutan seluas itu adalah deforestasi. Deforestasi adalah konversi lahan hutan menjadi lahan bukan hutan, entah digunakan untuk perkebunan, pemukiman, industri, atau area pertanian, dan lain-lain (KLHK, 2017).
Berdaskan data pantauan dari FWI, pada tahun 1980-1996 laju deforestasi hutan Indonesia mengalami peningkatan dari 1 juta hektar menjadi 2 juta hektar. Kemudian pada tahun 2000-2009 laju deforestasinya menjadi 1,51 juta hektar. Kejadian deforestasi terbesar berada di Pulau Kalimantan dengan total kehilangan lahan sebesar 5,50 juta hektar.
Secara mengejutkan kejadian deforestasi juga mencakup Hutan Lindung dan Kawasan Konservasi, yang mana seharusnya kawasan tersebut adalah area yang digunakan untuk mempertahankan keanekaragaman flora dan fauna Indonesia, hal ini berdasarkan pengkategorian kawasan hutan di Indonesia yaitu 22% Hutan Konservasi, 24% Hutan Lindung, dan 55% Hutan Produksi (KLHK, 2016). Diantara hutan-hutan tropis di Indonesia terdapat lahan gambut, yang merupakan lahan yang terbentuk karena adanya akumulasi dari bahan-bahan organik yang berlangsung dalam waktu lama.
Lahan gambut berfungsi sebagai carbon stock, di mana lahan ini mampu menyerap Karbon dioksida (CO2) dari atmosfer yang digunakan untuk proses fotosintesis sehingga mampu menyimpan Oksigen (O2). Tetapi,lagi-lagi tingkat deforestasi dari lahan gambut ini tergolong cukup tinggi, antara tahun 2000-2009 lahan gambut telah menghilang atau beralih fungsinya sebesar 2 juta hektar, dengan tingkat deforestasi tertinggi di Pulau Sumatera.
Deforestasi ini terutama digunakan untuk area perkebunan sawi, karena sawit dinilai mampu meningkatkan pendapatan daerah dan telah menyumbang 10,6% dari nilai eksport sektor non-migas. Hal ini tentu menjadi salah satu alasan untuk semakin meningkatkan luasan perkebunan sawit yang semula hanya 4,16 juta hektar pada tahun 2000 meningkat menjadi 8,25 juta hektar pada tahun 2009 (Departemen Pertanian, 2009). Pembukaan lahan ini juga kebanyakan menggunakan metode yang cukup ekstrim yaitu pembakaran dan penebangan hutan.
Pembakaran ini tentu saja akibatnya sangat buruk apalagi jika dilakukan di lahan gambut yang menyimpan cadangan oksigen yang cukup besar, maka tragedi asap seperti yang berlangsung pada tahun 2015 akibat kebakaran lahan gambut di Riau dapat terulang kembali. Selain itu, penebangan hutan ini dapat membuat area hidup fauna-fauna liar di hutan terusik dan mulai migrasi ke pemukiman manusia, yang kemudian pola pikir manusia menafsirkan bahwa hewan tersebut mengganggu habitat mereka (pemukiman), padahala yang terjadi adalah sebaliknya.