Aksi menolak disahkannya UU Pilkada ke gedung DPR RI 22 Agustus kemarin menjadi bukti bahwa mahasiswa masih eksis mengawal iklim demokrasi di Indonesia. Tidak hanya di pusat, di berbagai daerah pun mahasiswa turun ke jalan menyuarakan penolakan atas pengesahan UU Pilkada yang dinilai mencederai konstitusi, setelah sebelumnya MK telah melayangkan putusan ambang batas usia calon kepala daerah serta ambang batas yang harus dipenuhi partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu untuk dapat mencalonkan kepala daerah.
Namun perlu diketahui, sejauh yang saya lihat, gerakan aksi kemarin bukan sepenuhnya diinisiasi oleh mahasiswa. Media lebih dulu bergerak dengan terus memantau situasi politik dan hukum yang tengah terjadi sepekan terakhir. Bahkan simbol yang dipropagandakan di media sosial berupa gambar garuda putih dengan latar biru bertuliskan 'peringatan darurat' itu pertama kali diposting oleh tim narasinews, media yg diampu oleh Najwa Shihab.
Bagaimana Gerakan Aksi ini Distimulasi
Yang pertama kali dikabarkan akan bergerak melakukan aksi adalah guru besar, ilmuwan politik, kelompok akademisi, dan berbagai elemen masyarakat lain sebagaimana yang diulas oleh Tempo, Kamis, 22 Agustus pukul 06:26. Baru setelah itu ramai mahasiswa ikut bergerak.
Sebelum pernyataan akan adanya aksi penolakan ke gedung DPR, media sosial telah lebih dulu ramai, bersama viralnya postingan gambar garuda putih dengan latar biru bertuliskan 'peringatan darurat'.
Dalam tulisan yang dibuat oleh salah satu dosen IAIN Pontianak, Syamsul Kurniawan, yang diterbitkan dalam kompas.com, tentang bagaimana kekuatan simbol ini memiliki pengaruh kuat dalam menggiring opini hingga tindakan massa untuk bergerak. Ia menjelaskan, bahwa simbol yang secara masif tersebar di media sosial itu tidak hanya membawa pesan nyata tentang keadaan darurat, lebih dari itu simbol tersebut bekerja sama dengan konteksnya untuk menciptakan realitas baru yang dapat dirasakan oleh publik.
Simbol yang dicipta itu menurutnya sanggup menggiring publik pada kondisi moral panic yang kemudian dapat memicu masyarakat secara emosional dan imajinatif untuk bereaksi dengan skala yang eksplosif. Gambar tersebut berhasil merekayasa perasaan publik secara dramatis berada dalam kecemasan dan keterancaman. Belum lagi mereka yang terbiasa memantau, menganalisa dan mencari informasi mengenai stabilitas sosial dan politik melalui media online akan dengan mudah tersulut emosi.
Revolusioner Leader dibutuhkan
Terlepas dari konstruksi realitas yang sengaja dibuat oleh media untuk memprovokasi masyarakat, dari sana kita bisa menilai, bahwa gerakan yang berlangsung kemarin, merupakan respon reaksioner. Tak ada yang salah dengan itu, gerakan aksi demonstrasi memang dibutuhkan untuk menghadang pihak yang berencana mewujudkan nafsu kuasanya.
Namun yg perlu kita perhatikan, sikap reaksioner ini tak akan selalu efektif dalam upaya menjaga stabilitas demokrasi, sosial dan politik kita. Kita tak bisa selamanya bergantung pada upaya-upaya defensif disaat pihak-pihak yang haus akan kekuasaan dapat bergerak secara agressif menggerogoti keluhuran konstitusi.
DPR saja dapat dengan tanggap merespon putusan MK dengan berusaha merevisi UU Pilkada hanya dalam waktu kajian 1 jam saja. Mahasiswa butuh waktu satu hari untuk mengkonsolidasikan kelompoknya melakukan aksi. Bahkan masih ada beberapa kelompok mahasiswa yang baru mengkaji drama/dinamika politik hukum yang tengah terjadi.