Lihat ke Halaman Asli

Rijal Firdaos

Dosen UIN Raden Intan Lampung

Puasa dan Kecerdasan Emosional

Diperbarui: 4 Mei 2020   22:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Ramadhan kembali menghampiri kita, berbagai suka dan duka kita rasakan bersama. Bermacam godaan harus kita lawan. Beragam pesan dan nasihat wajib kita terima. Saatnya untuk merefleksikan eksistensi diri di hadapan sang pencipta. Membangun kembali nilai-nilai ilahiyah, melestarikan kualitas ibadah, serta menjaga keimanan yang kokoh menjadi lebih baik. Ramadhan adalah saat paling tepat untuk menahan segala bentuk emosi (dorongan) yang hadir.

Kewajiban berpuasa (shaum), yang diperintahkan Allah bagi hamba-Nya yang beriman, secara hakikat dapat membentuk pribadi bertakwa sebagaimana digambarkan dalam alquran, (Al-Baqarah, 183). 

Kewajiban tersebut benar-benar dikhususkan bagi orang-orang beriman kepada Allah secara total, bukan untuk mereka yang sekedar mengaku Islam. Juga, bagi mereka yang percaya dan mempercayakan Allah atas hidup dan kehidupannya, bukan untuk mereka yang percaya, namun tidak ridho terhadap takdir-Nya.  

Tujuan utama spiritualitas Islam adalah untuk membangun kedekatan seseorang dengan Tuhannya. Jika iman berperan membimbing seorang muslim kepada jalan menuju Tuhan, lima rukun Islam memberikan aturan hidup dan petunjuk bagaimana mengarungi jalan tersebut, menghilangkan tembok penghalang antara Allah dengan hamba-Nya. 

Syahadat merupakan sebuah kesaksian iman, berfungsi menjauhkan seseorang dari pengabdian kepada tuhan-tuhan yang salah dan terbatas. Shalat menjadi ritus ibadah yang akan melepaskan seseorang dari urusan duniawi, zakat menjauhkan seorang muslim dari nafsu kepada harta, haji menjauhkan seorang muslim dari dosa, dan rasialisme. Sementara puasa menjauhkan seseorang dari nafsu jasmaniah dan dorongan-dorongan emosional.

Essensi puasa sesungguhnya bukan sekedar menahan diri dari makan dan minum saja. Lebih dari itu, kita dituntut untuk mampu menahan diri dari segala bentuk nafsu dan emosi yang lahir dalam diri kita. 

Menahan dorongan untuk tidak berdusta, tidak membicarakan aib orang lain, tidak mengadu domba, serta tidak melakukan hal-hal yang dapat mengurangi pahala puasa. 

Bentuk emosi yang muncul kerap di rasakan pada sikap yang ditampilkan atas dasar suasana perasaan saat itu. Karena, emosi pada dasarnya adalah dorongan untuk bertindak, rencana seketika untuk mengatasi masalah yang ditanamkan secara berangsur–angsur yang terkait dengan pengalaman dari waktu ke waktu.

Daniel Goleman dalam bukunya "Emotional Intellegence", mengatakan bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan lebih yang dimiliki seseorang dalam memotivasi diri, ketahanan dalam menghadapi kegagalan, mengendalikan emosi dan menunda kepuasan, serta mengatur keadaan jiwa. 

Dengan kecerdasan emosional tersebut, seseorang dapat menempatkan emosinya pada porsi yang tepat, memilah kepuasan, dan mengatur suasana hati. Lebih lanjut Goleman mengatakan; kordinasi suasana hati adalah inti dari hubungan sosial yang baik. 

Apabila seseorang pandai menyesuaikan diri dengan suasana hati individu yang lain atau dapat berempati, maka sesungguhnya orang tersebut memiliki tingkat emosionalitas yang baik, dan akan lebih mudah menyesuaikan diri dalam pergaulan sosial serta lingkungannya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline