Lihat ke Halaman Asli

Legal Opinion Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 60/PUU-XXII/2024

Diperbarui: 21 Agustus 2024   21:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

I. Pendahuluan

Mahkamah Konstitusi (MK) merupakan lembaga peradilan yang memiliki kewenangan utama untuk menguji konstitusionalitas undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945. Dalam konteks ini, MK berperan sebagai negatif legislator, yang artinya hanya berwenang untuk membatalkan norma hukum yang bertentangan dengan konstitusi, tanpa memiliki kewenangan untuk membuat norma hukum baru (positif legislator). Namun, dalam beberapa kasus, MK tampak melampaui peran tradisionalnya dan dianggap bertindak sebagai positif legislator, seperti yang terlihat dalam Putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024.
Putusan ini mengubah ambang batas pencalonan kepala daerah di Pilkada Serentak 2024, yang sebelumnya menetapkan bahwa partai politik (parpol) harus memiliki minimal 22 kursi di DPRD untuk mencalonkan kepala daerah, menjadi hanya perlu memperoleh minimal 7,5% suara pada pemilu legislatif terakhir di daerah dengan populasi 6 hingga 12 juta jiwa. Perubahan ini memicu perdebatan mengenai peran MK dan apakah tindakan ini mengindikasikan bahwa MK telah bertindak sebagai positif legislator.
Legal opinion ini bertujuan untuk memberikan analisis yang sistematis dan komprehensif terhadap putusan tersebut, dengan fokus pada pertanyaan apakah Mahkamah Konstitisi dalam konteks ini telah bertindak sebagai positif legislator. Pendapat para ahli hukum tata negara juga akan dikaji sebagai dasar pembentukan opini ini.
II. Dasar Hukum1. Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945: Menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.2. Pasal 10 Ayat (1) UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi: Menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi memiliki kewenangan untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, tetapi tidak memberikan kewenangan kepada MK untuk menciptakan atau merumuskan norma hukum baru.3. Teori Pemisahan Kekuasaan (Trias Politica): Ditekankan oleh Montesquieu, yang menegaskan bahwa kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif harus terpisah untuk mencegah terjadinya tirani. Dalam konteks ini, MK tidak boleh melampaui batas kewenangannya sebagai bagian dari kekuasaan yudikatif.
III. Analisis HukumA. Peran Mahkamah Konstitusi sebagai Negatif LegislatorSecara normatif, peran MK adalah sebagai negatif legislator, yang berarti tugas utamanya adalah menguji konstitusionalitas undang-undang dan membatalkan norma yang bertentangan dengan konstitusi. Peran ini secara jelas diatur dalam Pasal 24C UUD 1945 dan UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. MK tidak diberi kewenangan untuk merumuskan norma hukum baru, yang merupakan domain eksklusif dari legislatif.Dalam kasus Putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024, MK tidak hanya membatalkan norma yang ada, tetapi juga menetapkan ambang batas baru untuk pencalonan kepala daerah. Langkah ini dapat dilihat sebagai tindakan yang melampaui kewenangan MK sebagai negatif legislator, karena MK secara aktif mengisi kekosongan hukum dengan merumuskan norma baru yang seharusnya menjadi tanggung jawab legislatif.
B. Tanggapan Ahli Hukum Tata NegaraBeberapa ahli hukum tata negara di Indonesia telah memberikan pandangan kritis terhadap putusan ini:1. Jimly Asshiddiqie: Jimly menekankan bahwa MK harus berhati-hati untuk tidak melampaui perannya sebagai negatif legislator. Menurutnya, MK hanya boleh membatalkan norma yang inkonstitusional dan tidak boleh merumuskan norma baru, karena hal ini melanggar prinsip pemisahan kekuasaan.2. Harjono: Harjono, mantan hakim konstitusi, juga mengingatkan bahwa MK seharusnya tidak merumuskan norma baru. Meskipun kadang-kadang diperlukan arahan kepada legislatif untuk memperbaiki kekosongan hukum, MK tidak boleh secara langsung menggantikan peran legislatif.3. Maria Farida Indrati: Maria Farida menyatakan bahwa tindakan MK yang merumuskan norma baru dapat menyebabkan kekacauan dalam sistem hukum dan menciptakan preseden buruk di mana yudikatif mengambil alih peran legislatif.4. Saldi Isra: Saldi Isra memperingatkan bahwa MK harus menjaga keseimbangan antara kekuasaan yudikatif dan legislatif, dengan tetap berpegang pada prinsip bahwa MK tidak memiliki kewenangan untuk bertindak sebagai positif legislator.4
C. Konsekuensi Hukum dari Tindakan MK sebagai Positif Legislator Tindakan MK yang dianggap sebagai positif legislator dapat menimbulkan beberapa konsekuensi hukum yang serius, termasuk:1. Gangguan terhadap Prinsip Pemisahan Kekuasaan: Dengan bertindak sebagai positif legislator, MK melanggar prinsip pemisahan kekuasaan yang menjadi dasar dari sistem hukum konstitusional. Ini dapat menciptakan ketidakpastian hukum dan mengganggu keseimbangan antara lembaga negara.2. Preseden Buruk jika tindakan MK sebagai positif legislator dibiarkan, ini dapat menjadi preseden buruk yang memungkinkan lembaga yudikatif untuk terus mengambil alih peran legislatif. Hal ini dapat mengurangi legitimasi MK dan menimbulkan masalah konstitusional yang lebih besar di masa depan.3. Kekacauan dalam Sistem Hukum: Penciptaan norma hukum baru oleh MK tanpa melalui proses legislatif yang sah dapat menyebabkan kekacauan dalam sistem hukum, di mana undang-undang yang seharusnya dibuat oleh legislatif menjadi tidak sah karena dibuat oleh yudikatif.
IV. KesimpulanBerdasarkan analisis di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam Putusan Nomor 60/PUUXXII/2024, Mahkamah Konstitusi telah melampaui perannya sebagai negatif legislator dan bertindak sebagai positif legislator dengan menetapkan ambang batas baru untuk pencalonan kepala daerah. Tindakan ini tidak sesuai dengan prinsip pemisahan kekuasaan yang diatur dalam UUD 1945 dan UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.Para ahli hukum tata negara di Indonesia, seperti Jimly Asshiddiqie, Harjono, Maria Farida Indrati, dan Saldi Isra, secara tegas menolak tindakan MK yang bertindak sebagai positif legislator. Mereka menekankan pentingnya MK untuk tetap dalam perannya sebagai negatif legislator dan menghormati kewenangan legislatif dalam merumuskan norma hukum.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa tindakan MK dalam konteks ini tidak dibenarkan secara hukum dan dapat menimbulkan dampak negatif terhadap sistem hukum dan konstitusi Indonesia. MK harus menjaga integritasnya sebagai lembaga yudikatif yang independen dan tidak terlibat dalam pembuatan norma hukum baru, yang merupakan domain eksklusif dari legislatif.
*catatan:1. Apakah putusan dari Mahkamah Konstitusi yang dianggap sebagai positif legislator ini didasarkan pada preseden putusan No.90?
2. Adapun Mahkamah Konstitusi ini dapat menjadi positif legislator dalam situasi tertentu. MK bisa bertindak sebagai positif legislator dalam situasi di mana terdapat kekosongan hukum (legal vacuum) yang mendesak atau adanya norma yang tidak lengkap dan perlu diisi untuk menghindari ketidakpastian hukum. Hal ini biasanya terjadi ketika suatu Undang-Undang dinyatakan inkonstitusional dan pembatalannya tanpa penggantian segera dapat menyebabkan kerugian lebih besar atau menghambat fungsi-fungsi pemerintahan yang penting. 
Dalam situasi seperti itu, MK bisa memberikan panduan atau menetapkan norma sementara hingga legislatif mengambil tindakan lebih lanjut.Contoh situasi ini terjadi dalam Putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010 mengenai status anak luar kawin. Dalam putusan tersebut, MK tidak hanya membatalkan norma, tetapi juga memberikan interpretasi baru mengenai status anak luar kawin, dengan memberikan hak perdata kepada anak luar kawin dari ayah biologisnya. Ini adalah salah satu contoh di mana MK dapat dilihat sebagai positif legislator karena MK merumuskan norma baru yang sebelumnya tidak diatur dengan jelas dalam undang-undang.
3. Meninjau dari paparan poin kedua, meskipun MK bisa dianggap sebagai positif legislator dalam kondisi tertentu, terdapat pembatasan-pembatasan yang harus diperhatikan untuk menjaga prinsip pemisahan kekuasaan dan tidak melampaui batas kewenangannya. pembatasan tersebut, yakni:Kondisi Darurat atau Kekosongan Hukum: MK hanya dapat bertindak sebagai positif legislator jika terdapat kondisi yang sangat mendesak, di mana pembatalan suatu norma hukum tanpa penggantian segera dapat mengakibatkan kekosongan hukum yang membahayakan kepentingan umum.
Batasan Sifat Sementara: Norma yang diciptakan atau diputuskan oleh MK dalam konteks sebagai positif legislator harus bersifat sementara dan hanya berlaku hingga legislatif atau eksekutif mengambil tindakan yang sesuai.
Menghormati Kewenangan Legislatif: MK tidak boleh merumuskan norma-norma baru yang secara substantif merupakan tugas dan fungsi utama dari badan legislatif. Tindakan MK sebagai positif legislator harus terbatas pada interpretasi dan penegasan norma, bukan penciptaan hukum baru.
Prosedur yang Transparan dan Akuntabel: Keputusan MK yang melibatkan peran sebagai positif legislator harus dilakukan dengan mempertimbangkan partisipasi publik dan melalui prosedur yang transparan serta akuntabel.Legal opinion ini semata-mata hasil analisa dari penulis.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline