Lihat ke Halaman Asli

Garut Merdeka: Jalan Sunyi Pemda

Diperbarui: 17 Agustus 2024   21:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 https://images.app.goo.gl/25REeGJ2ngoqQdjx5

Di balik kemegahan pegunungan yang membingkai Garut dengan panorama alamnya yang menakjubkan, terdapat sebuah potensi yang seharusnya mampu mengguncang tatanan yang mapan. Garut, dengan kekayaan budaya dan potensi sumber daya yang melimpah, ibarat bara yang tertutup abu, menunggu saat yang tepat untuk menyala. Namun, di balik ketenangan permukaannya, tersembunyi berbagai permasalahan serius yang menekan perkembangan daerah ini. Politik di Garut telah mengalami penyimpangan yang mengkhawatirkan. Korupsi merajalela, hukum menjadi tumpul, dan pelanggaran hak asasi manusia berlangsung tanpa kendali. Pemuda Garut, yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam perjuangan untuk perubahan, justru terperosok dalam apatisme. 

Dalam ketenangan ini, terdapat pengkhianatan terhadap masa depan mereka sendiri dan masa depan bangsa. Alih-alih beraksi melawan ketidakadilan, banyak dari mereka memilih diam, meninggalkan kesempatan untuk menjadikan Garut sebagai teladan dalam demokrasi dan keadilan.Politik di Garut, seperti di banyak wilayah lain, telah jauh dari esensi revolusi yang dijanjikan. 

Kini, politik berfungsi sebagai ladang perburuan bagi segelintir individu yang memanfaatkan kekuasaan untuk memperkaya diri sendiri dan mempertahankan posisi mereka, bukan untuk kesejahteraan rakyat. Oligarki lokal mendominasi panggung politik dengan kekuatan uang dan jaringan, menciptakan jarak yang semakin lebar antara rakyat dan wakil mereka. 

Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Garut pada tahun 2022, partisipasi pemuda dalam pemilihan umum hanya mencapai 58% dari total pemilih pemula, mencerminkan perasaan terasing yang merajalela di kalangan mereka.Ketidakpedulian ini tidak lahir dari kebodohan, melainkan dari luka sistemik yang ditimbulkan oleh korupsi. 

Politik transaksional, di mana uang menggantikan prinsip dan integritas, telah menghancurkan harapan dan keyakinan pemuda. Mereka menyadari bahwa suara mereka sering kali tidak berdaya melawan lautan korupsi. Frustrasi ini mendorong banyak pemuda untuk menjauh dari politik, memilih menjadi pengamat daripada berpartisipasi. Mereka yang berani terjun sering kali terjebak dalam lingkaran kekuasaan yang merusak niat baik mereka.

Di Garut, dan di banyak tempat lainnya, perubahan yang seharusnya milik rakyat kini menjadi sebuah ilusi. Pemuda, yang seharusnya menjadi pejuang terdepan, terperangkap dalam kebisuan yang mematikan. Namun, perubahan tidak pernah benar-benar mati; ia hanyamenunggu saat yang tepat untuk bangkit kembali. 

Kebisuan ini merupakan persetujuan yang tidak diucapkan, sebuah pengkhianatan terhadap generasi yang seharusnya memimpin perlawanan. Politik lokal menjadi arena bagi kepentingan pribadi, sedangkan kebijakan yang dihasilkan sering kali merusak tatanan sosial yang seharusnya melindungi dan memberdayakan kaum muda.

Pada tahun 2024, penegakan hukum di Kabupaten Garut menghadapi tantangan yang semakin menganga. Laporan tahunan dari Polres Garut mengungkapkan bahwa tingkat kejahatan di wilayah ini melonjak 7% dibandingkan tahun sebelumnya, dengan 1.245 kasus yang tercatat (Polres Garut, 2024). Namun, angka-angka ini hanyalah puncak gunung es dari krisis yang lebih mendalam, di mana kasus korupsi menjadi permasalahan yang sangat mendesak. Dengan setidaknya 15 kasus korupsi melibatkan pejabat pemerintah daerah, termasuk penggelapan dana pembangunan desa di Kecamatan Cibatu yang merugikan negara hingga Rp1,2 miliar, kita tidak hanya menghadapi kejahatan, tetapi sebuah sistem yang terperosok dalam penyelewengan dan penipuan (Polres Garut, 2024).

Di balik angka-angka ini, terdapat sebuah tragedi yang lebih besar: keterbatasan akses terhadap keadilan. Laporan dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Garut menunjukkan bahwa hanya sekitar 35% dari total kasus hukum yang diajukan oleh masyarakat di pedesaan berhasil diselesaikan melalui jalur hukum formal (LBH Garut, 2024). 

Jarak geografis yang jauh dan minimnya informasi tentang hak-hak hukum menjadi penghalang utama. Ini adalah cermin dari sistem hukum yang telah gagal, sebuah sistem yang tidak mampu menembus belenggu kesenjangan dan menyediakan keadilan yang merata bagi seluruh lapisan masyarakat, khususnya mereka yang terpinggirkan di daerah terpencil.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline