Pelayanan pada masyarakat yang kurang memuaskan merupakan gejala penyakit birokrasi. Menurut Martias (2018), patologi atau penyakit dalam birokrasi sebuah negara timbul akibat perilaku pejabat birokrat dan kondisi yang memungkinkan terjadinya perilaku tersebut, baik dalam bidang politik, ekonomi, sosial budaya, maupun teknologi.Tidak ada birokrasi yang terbebas dari berbagai penyakit yang terkait dengan birokrasi, namun tidak ada pula birokrasi yang menderita semua penyakit birokrasi secara bersamaan (Teruna,2007). Maladministrasi adalah salahsatu dari patologi birokrasi. Berpedoman pada UU No 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman RI, maladministrasi adalah perilaku yang bertentangan dengan hukum, melebihi kewenangan, menggunakan kewenangan untuk tujuan lain, termasuk kelalaian atau pengabaian kewajiban hukum dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang dilakukan oleh penyelenggara negara atau pemerintahan dan menimbulkan kerugian baik materiil maupun immaterial bagi masyarakat atau perseorangan.
Berdasarkan pemberitaan CNBC Indonesia, Ketua Ombudsman Mokhammad Najih mengatakan, tim nya menerima total 8.292 laporan maladministrasi yang dilakukan oleh penyedia layanan publik selama tahun 2022. Dari jumlah tersebut, terdapat 10 jenis maladministrasi yang dilakukan oleh birokrat atau masyarakat sipil. pegawai (ASN). Jenis yang paling umum adalah penundaan berkepanjangan dalam tugas yang seharusnya diselesaikan, dengan 1.456 kasus dilaporkan. Terdapat pula 1.242 laporan kegagalan memberikan pelayanan, 780 laporan pelanggaran prosedur, 293 kasus perilaku tidak patut, 115 laporan permintaan ganti rugi, dan 100 laporan ketidakmampuan. Selain itu, terdapat 95 kasus penyalahgunaan wewenang, 66 kasus diskriminasi, 7 kasus favoritisme, 5 kasus konflik kepentingan, dan 4.133 kasus praktik maladministrasi lainnya yang tidak dijelaskan secara rinci. Dari total pelanggaran administratif tersebut, Najih merinci instansi yang paling banyak melaporkan pelanggarannya adalah pemerintah daerah dengan 4.008 laporan. Disusul oleh 878 laporan terhadap Badan Pertanahan Nasional, 683 laporan terhadap polisi, dan 628 laporan terhadap badan usaha milik negara. Terdapat pula 517 laporan terkait lembaga pemerintah atau kementerian, 342 laporan terkait lembaga pendidikan negara, 247 laporan terkait perbankan, 240 laporan terkait lembaga peradilan, 146 laporan terkait lembaga pemerintah nonkementerian, 92 laporan terkait rumah sakit pemerintah, dan 86 laporan terkait lembaga negara non-struktural. Dari segi substansi laporan, permasalahan terbanyak adalah terkait isu agraria sebanyak 1.301 laporan, disusul ketenagakerjaan sebanyak 827 laporan, administrasi kependudukan sebanyak 776 laporan, pendidikan sebanyak 764 laporan, kepolisian sebanyak 678 laporan, dan perdesaan sebanyak 553 laporan. , Perhubungan dan Infrastruktur 395 laporan, Hak Sipil dan Politik 336 Laporan, Energi dan Ketenagalistrikan 276 Laporan, Keadilan 249 Laporan, dan Kesejahteraan Sosial 217 Laporan. Selain itu, Najih mengungkapkan pada tahun 2022, Ombudsman RI baik di tingkat pusat maupun perwakilan telah menangani total 22.197 kasus terkait pelanggaran yang dilakukan oleh penyedia layanan publik, termasuk 88 kasus yang dilakukan sendiri.
Setiap individu di dalam suatu birokrasi rentan terhadap penyakit birokrasi yang tentunya bervariasi dan sangat sulit untuk diobati. Perilaku anggota birokrasi tercermin dalam pelayanannya kepada seluruh masyarakat. Setiap anggota birokrasi harus melayani masyarakat dengan sepenuh hati tanpa memandang latar belakang penerima layanan baik dari status sosial, status ekonomi , maupun politik. Aparatur sipil negara bukanlah orang yang harus dilayani namun harus melayani. Ungkapan tersebut hanya akan menjadi semboyan yang tidak bermakna jika tidak diwujudkan dalam praktik penyelenggaraan negara sehari-hari. Faktanya bukan rahasia lagi bahwa birokrasi Indonesia memberikan kesan yang buruk kepada publik bahwa menyelesaikan urusannya dengan aparatur pemerintah membutuhkan proses yang berbelit-belit, sering diabaikan ketika meminta bantuan, dan bahkan beberapa harus pulang dengan kebutuhan yang tidak dipenuhi dan tanpa mendapatkan pelayanan. Sering ditemukan bahwa aparatur sipil menyalahgunakan wewenang dan posisinya demi kepentingan pribadi.
Dalam paradigma Actonian dinyatakan power tends to corrupt, but absolute power corrupt absolutely (kekuasaan cenderung korup, tapi kekuasaan yang absolut pasti korup) secara implisit juga menjelaskan birokrasi dalam hubungannya dengan kekuasaan akan mempunyai kecenderungan untuk menyelewengkan wewenangnya (Ismail, 2009). Paradigma Actonian memang menggambarkan bahwa kekuasaan cenderung menimbulkan korupsi, dan kekuasaan absolut pasti akan menghasilkan korupsi. Dalam konteks birokrasi, ini berarti bahwa ada kecenderungan untuk menyalahgunakan wewenang. Untuk mengatasi masalah ini, beberapa solusi yang dapat dipertimbangkan adalah: Menerapkan prinsip-prinsip good governance Prinsip-prinsip ini dapat membantu mencegah patologi birokrasi, terutama dalam hal korupsi, kolusi, dan nepotisme. Dalam good governance menuntut setiap pejabat publik (birokrat dan politisi) untuk dapat mempertanggungjawabkan sikap, perilaku, dan kebijaksanaannya dalam menjalankan fungsi, tugas, peran, dan wewenang. Keberhasilan good governance ditandai dengan adanya akuntabilitas, transparansi, kontrol internal-eksternal yang efektif.
Dalam pendapat saya, prinsip good governance memang dapat menjadi solusi yang efektif untuk mengatasi maladministrasi dalam birokrasi. Maladministrasi, atau penyelewengan administrasi, seringkali terjadi ketika ada kurangnya transparansi dan akuntabilitas dalam sistem birokrasi. Prinsip ini menekankan pentingnya transparansi dan akuntabilitas, serta partisipasi publik dan supremasi hukum. Dengan menerapkan prinsip-prinsip ini, kita dapat memastikan bahwa setiap keputusan dan tindakan yang diambil oleh birokrat dilakukan dengan cara yang jujur, adil, dan bertanggung jawab. Prinsip Transparansi memastikan bahwa proses pengambilan keputusan dan tindakan yang diambil oleh birokrat dapat dipantau oleh publik. Ini akan mencegah penyalahgunaan wewenang dan memastikan bahwa keputusan yang diambil adalah untuk kepentingan publik, bukan untuk kepentingan pribadi atau kelompok. Prinsip Akuntabilitas berarti bahwa birokrat harus bertanggung jawab atas tindakan dan keputusan mereka. Jika mereka melakukan kesalahan atau penyalahgunaan wewenang, mereka harus dihukum sesuai dengan hukum yang berlaku. Prinsip Partisipasi publik dalam proses pengambilan keputusan juga sangat penting. Dengan melibatkan publik dalam proses ini, kita dapat memastikan bahwa keputusan yang diambil mencerminkan kepentingan dan kebutuhan masyarakat.Terakhir adalah prinsip supremasi hukum harus selalu dijaga. Tidak ada yang berada di atas hukum, termasuk birokrat. Jika hukum ditegakkan dengan tegas dan adil, maka maladministrasi dapat dicegah. Dalam menerapkan prinsip-prinsip ini bukanlah tugas yang mudah. Diperlukan komitmen yang kuat dari semua pihak, termasuk birokrat, pemerintah, dan masyarakat. Selain itu, perubahan ini tidak akan terjadi dalam semalam. Tetapi dengan usaha dan kerja keras, saya yakin kita dapat membuat perubahan positif.
Penulis : Rihhadatul Aisy & Pebriyanti Sitorus
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H