Sebagai kelas penghasil bahan baku, nasib petani setali tiga uang dengan nasib buruh. Beras yang dihasilkan dari tanah yang mereka olah, dan tanami padi kemudian di panen berakhir dengan pembelian yang sangat murah di pasar. Itu berarti dalam kerja sehari-hari dari siang sampai malam hari, petani terus merugi dan menanggung beban biaya produksi yang tinggi.
Pangan terutama beras oleh pemerintah, sepertinya telah sengaja diatur agar selalu terjaga murah, dan terjangkau. Lihat saja, kenaikan harga beras yang berlangsung sampai sekarang, sebagai komoditas politik pemerintah mengakali ini dengan melakukan strategi impor beras sebagai kontrol politik.
Jumlah orang yang berprofesi sebagai petani di negeri kita tentu sangat besar, bahkan menempati urutan nomor satu. Namun jumlah yang besar saja, tidak berabnding lurus dengan kedaulatan politik. Sampai hari ini, petani tidak memiliki kontrol politik apapun baik di parlemen, maupun pemerintahan.
Pergulatan petani untuk memperoleh kedaulatan ekonomi, sosial, dan politik sepertinya terus berkembang dari hari ke hari. Namun begitu, gejolak tuntutan, dan aksi massa oleh petani seringkali hilang di tengah jalan dan berakhir tragis di tangan kelas menengah yang berbaju populis. Di sinilah sekali lagi, sebagai arena mengakses sumberdaya ekonomi, panggilan berpolitik oleh petani menjadi keharusan.
Dari setiap kegagalan-kegagalan petani belajar. Sementara itu secara struktural obyektif penghisapan feodal, dan kapital terus berlangsung diatas darah dan keringatnya kelas petani. Di sinilah faktor subyektif petani sebagai kelas terhisap harus mempersiapkan diri karena kegagalan perubahan nasib petani dari massa ke massa, tidak dapat dipungkiri terus berlangsung oleh sebab tidak berjalannya organisasi petani menyadari kepentingan utamanya yakni melawan sistem penghisapan para tuan-tuan tanah maupun korporasi-korporasi serakah. Dan pada skala penghisapan yang sudah akut, perlawanan yang semakin maju dan solid harus dijalin dan diupayakan kelas-kelas yang telah bekerja dan terhisap ini.
Situasi menyadarkan pentingnya perbaikan ekonomi petani dengan jalan politik baik dalam bentuk demonstrasi maupun protes. Namun begitu, isu-isu yang menyangkut nasib petani itu sampai saat ini lebih sering digerakkan oleh pihak-pihak di luar petani sendiri seperti aktivis, guru, dan mereka yang notabene bukan petani yang merasakan sendiri situasi keterhisapan. Pemosisian obyek petani oleh aktor eksternal dalam situasi seperti inilah politisi-oportunis-populis memebelokkan dan mengambil suara kaum tani. []
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H