Lihat ke Halaman Asli

Subjects of Revolution

Diperbarui: 25 Juni 2015   21:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Beberapa orang mengaku reformis dan pembawa misi perubahan atau lebih sakral lagi mereka sebut dirinya ‘pembebas’ bagi orang-orang miskin. Orang miskin dianggapnya sebagai calon orang-orang yang harus dirubah nasibnya. Sementara yang mendasar dan terlupakan dari pemikiran seperti ini yakni kerancuan persepsi yang nanti timbul, siapakah pelaku perubahan tersebut, para pembawa misi perubahan atau masyarakat yang diajak berubah?

Secerdas apapun seorang intelektual produk kampus, mereka hanya tahu soal teori-teori. Buku-buku akademis seperti imaji di kepala para pembaca yang rata-rata hanya menghasilkan sekelompok agnostik. Rasanya susah sekali memisahkan diktat, literatur, jurnal dan buku-buku dari kehidupan intelektual ini. Sepertinya, huruf-huruf yang mereka baca setiap hari itu, seperti kenyataan itu sendiri, yang tak bisa digugat dan sudah mutlak kebenarannya.

Kalau ditanya siapa yang ingin mereka rubah jawabannya adalah kelas termiskin yang nelangsa hidupnya. Pada titik pandang inilah intelektual kampus menjadi seperti superman atau pahlawan yang sepertinya harus memberi pertolongan, pelajaran, pelatihan, dan pencerdasan kepada kaum miskin-tertindas ini. Si Intelektual merasa bahwa mereka lebih tahu apa yang harus dilakukan oleh kaum yang paling miskin dari yang miskin ini untuk berubah dan bangkit dari situasinya.

Seperti mendapat wahyu dari langit, suara teriakan perubahan datang melalui kelas menengah, lebih spesifik lagi kaum intelektual yang memiliki solidaritas atau ‘rasa kasihan’ kepada kelas yang hidupnya sengsara. Kaum reformis ini enggan dan tidak akan pernah melepaskan pandangan bahwa dari kaum buruh dan petani misalnya, tidak akan mungkin memiliki kesadaran untuk merubah nasibnya sendiri. Singkat kata jika ditanya siapakah pelaku perubahan? jawabannya adalah buruh yang dibantu kelas menengah yang sadar, bukan kaum buruh atau petani sendiri.

Banyak sekali pahlawan, banyak sekali orang cerdas namun cukup sedikit sekali diantara pahlawan yang memahami pentingnya perubahan yang harus dilakukan dibawah kepemimpinan kelas buruh dan kelas petani sendiri. Kaum intelektual ini, masih mengidealkan figur-figur pahlawan-pahlawan seperti Mao, Gandhi, Sukarno, atau Che Guevara yang menjadi tokoh-tokoh pembela rakyat-rakyat kecil yang selalu digambarkan sebagai seorang altruis, dan tampil tulus dalam berjuang, menyuaraka pesan penindasan yang dialami rakyat melawan tiran-tiran pemerintah dan pemodal. Kaum reformis ini bercita-cita seperti ingin menciptakan sosok Soekarno, Che Guevara dlsb. yang baru. Sementara memberikan mandat perubahan oleh kelas yang ditindas sendiri, kaum reformis masih angkuh dan enggan percaya kalau dari kepemimpinan kaum buruh pernah berhasil melakukan revolusi sampai terbentuknya commune Paris, atau Revolusi Oktober di Rusia 1917.

Dalam selimut pengorbanan seorang pahlawan mereka menafikan pentingnya perubahan oleh kelas tertindas yang terpimpin. Dalam pola patron-klien, elit-massa, minoritas-mayoritas, kaum intelektual yang menyebut diri ‘sukarelawan’ dengan pongah seperti menganggap posisinya paling mulia. Tapi apa lacur, dalam relasi kepemimpinan kaum intelektual kelas menengah dengan pola fikir elitis, sementara kaum buruh tani seperti kumpulan bebek-bebek yang gampang ‘digiring atau dikandangi’ oleh majikan, termasuk harus menurut pada garis-garis ideologi dan kepentingan para kaum intelektual berwajah altruis ini.

Sekali lagi perlu ditegaskan tentang pentingnya perspektif bahwa perubahan nasib buruh-tani yang permanen bukan hasil inisiatif dan kepemimpinan kaum dari luar buruh-tani. Perubahan nasib petani yang permanen adalah upaya merubah yang timbul dan dilakukan atas inisiatif dan kepemimpinan kaum buruh-tani sendiri. Kalau perubahan kaum tani yang diinisiatifi, difasilitasi, dan diupayakan oleh pemerintah, korporasi, kaum intelektual maupun institusi lain diluar petani, hasil akhir perubahan yang dicapai oleh petanipun tidak akan permanen, karena kaum intelektual yang peduli pada nasib petani tetap saja bersifat semu, ‘pura-pura’, dan tetap bukan ‘kemauan’ dari kaum buruh-tani sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline