Lihat ke Halaman Asli

Rihad Wiranto

Saya penulis buku dan penulis konten media online dan cetak, youtuber, dan bisnis online.

Mencari Pola Tes Masuk Perguruan Tinggi yang Tepat, Bukan Saatnya Asal Kuliah

Diperbarui: 20 September 2022   13:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi mahasiswa (pixabay)

Menteri Pendidikan Kebudayaan, Riset dan Teknologi, Nadiem Makarim baru-baru ini mengubah tes penerimaan Perguruan Tinggi Negeri.  Yang menarik adalah Seleksi Bersama Masuk PTN (SBMPTN) tidak ada.lagi  tes mata pelajaran (mapel). Menurut Nadiem tes mapel dalam seleksi masuk PTN menciptakan diskriminasi.

Orang kaya di perkotaan bisa membayar biaya bimbingan belajar hingga jutaan rupiah untuk mempersiapkan anaknya mengikuti tes SNMPTN. Sedangkan sebagian orangtua umumnya di pedesaan untuk makan saja susah meski anaknya bisa saja memiliki otak cerdas.

Nadiem kemudian memperkenalkan tes skolastik. Tes Potensi Skolastik merupakan sebuah instrumen tes yang dilakukan untuk mengukur kemampuan kompetensi kognitif, logika, dan penalaran. Dengan model tes seperti ini, maka anak diukur dari potensi untuk mengembangkan diri di PTN.

Bisa jadi seorang anak tidak mampu mengerjakan soal mata pelajaran yang sulit dalam tes. Bukan karena dia bodoh tapi dia tidak mengenal tes tersebut saat sekolah. Bagi mereka yang ikut bimbingan belajar, tentu mereka sudah mengenal soal tersebut. Dengan demikian mereka yang ikut bimbel berpotensi.lebih besar untuk masuk ke PTN.

Tentu saja tes skolastik bukan tes yang sempurna. Tes ini bukan tidak bisa dipelajari. Karena itu kemampuan membuat tes harus benar-benar jitu agar tidak bisa ditebak oleh peserta tes.

Menciptakan Kesempatan yang Sama

Indonesia sebenarnya bukan negara dengan kemampuan belajar yang rendah. Banyak juara olimpiade internasional sains berasal dari Indonesia. Tapi kalau melihat peringkat PISA, Indonesia di barisan bawah. Peringkat rendah tidak bisa disimpulkan semua anak Indonesia bodoh. PISA yang rendah merupakan gambaran tidak meratanya kualitas pendidikan di Indonesia. 

Di satu sisi, banyak anak pandai sukses di olimpiade sains. Di sisi lain banyak anak di pelosok memiliki kemampuan penalaran yang rendah. Bukan salah anak, tapi karena mereka tidak memiliki akses memadai terhadap sumber-sumber pendidikan, kursus, pelatihan dan sejenisnya. Tanpa adanya kemudahan akses, kualitas pendidikan mereka akan terus tertinggal.

Kualitas Pendidikan Seperti Apa?

Sebenarnya, kualitas pendidikan seharusnya bersinergi dengan kebutuhan akan sumber daya manusia di wilayah masing-masing. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline