Lihat ke Halaman Asli

Rihad Wiranto

Saya penulis buku dan penulis konten media online dan cetak, youtuber, dan bisnis online.

Wacana Perpanjangan Jabatan Presiden Berpotensi Menjadi Pandemi Politik

Diperbarui: 13 April 2022   07:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Demo mahasiswa pada 11 April 2022 di Jakarta (KOMPAS.com/KRISTIANTO PURNOMO)

Wacana perpanjangan jabatan presiden terbilang aneh. Suara usulan perpanjangan jabatan presiden bermula dari pendukung Jokowi sendiri. 

Tapi di sisi lain Presiden Jokowi sudah tegas membantah ingin memperpanjang jabatannya. Sederet pendukungnya juga menolak perpanjangan jabatan presiden.

Tapi masih terdengar suara yang tidak yakin bahwa wacana perpanjangan jabatan presiden akan berhenti. Bahkan demo mahasiswa masih menolak wacana perpanjangan jabatan presiden yang jelas-jelas sudah dibantah Jokowi. 

Tapi kekhawatiran mahasiswa soal perpanjangan masa jabatan presiden memang pantas disuarakan. Jika sampai goal, demokrasi Indonesia dalam bahaya. Ini akan menjadi "pandemi politik" dalam arti tuntutan perpanjangan masa jabatan kepala daerah yang menular ke seluruh Indonesia. 

Dampak dari perpanjangan masa jabatan presiden sebenarnya sangatlah luas. Salah satunya adalah akan ada tuntutan serupa dari kepala pemerintah daerah untuk melakukan hal yang sama.

Bukan rahasia lagi otonomi daerah telah menciptakan Raja Kecil di daerah. Dengan pembatasan jabatan kepala daerah sebanyak dua kali seperti saat ini, maka menjadi penghalang mereka yang ingin memperpanjang kekuasaan. 

Tidak bisa dipungkiri, sebagian kepala daerah memiliki kemampuan untuk memimpin lebih dari dua periode dengan berbagai kelebihan. Antara lain karena pengaruhnya yang sudah mengakar di masyarakat setelah berkuasa 10 tahun. 

Karena peraturan tidak membolehkan kepala daerah berkuasa lagi, maka demi hukum, dia harus turun setelah dua kali masa jabatan.

Untuk menjaga kekuasaannya, pada pemilu berikutnya, giliran istri atau anaknya yang akan menjadi calon penggantinya. Karena pengaruhnya yang besar, istri atau anak kepala daerah mampu menang di pilkada berikutnya. 

Kondisi ini menciptakan sebuah fenomena dinasti kekuasaan di daerah. Kalau sebelumnya ayah menjadi kepala daerah, lalu turun ke istri, anak, atau saudara lain.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline