Konsep Merdeka Belajar merupakan terobosan yang keren. Lebih khusus lagi karena Mendikbud Nadiem Makarim banyak menggunakan istilah kekinian dalam mengkomunikasikan gagasan tersebut kepada publik.
Misalnya dia menginginkan guru yang ditantang untuk "pamer inovasi". Nadiem bilang juga tentang "Guru yang merdeka dalam memberi penilaian kepada siswa".
Guru diminta fokus kepada proses pembelajaran bukan mengurus administrasi. Nadiem mengganti RPP yang tadinya berlembar-lembar diubah menjadi satu halaman saja.
Sangat terlihat gaya kepemimpinan milenial yang cenderung mengabaikan peraturan yang kaku ke arah pengaturan yang lebih luwes. Semua ini akan membawa sebuah konsekuensi terhadap peran guru saat mengajar.
Bukan Zona Nyaman
Sebagian guru mungkin merasa plong karena beban administrasi berkurang. Guru yang memiliki gagasan "aneh" tidak akan sungkan menerapkannya. Tapi bagi guru yang mengira akan bekerja lebih santai di bawah Nadiem, saya kira mereka akan segera kecewa.
Terlihat sekali gaya kepemimpinan Nadiem sangat "menuntut". Dia tidak menginginkan pendidikan yang biasa-biasa. Dalam arti guru datang ke kelas setiap hari pada jam yang sama, berbicara dengan materi relatif sama dari tahun ke tahun, lalu keluar kelas dengan perasaan plong karena tugasnya sudah dilaksanakan. Setelah itu terserah siswanya. Bagi yang tidak puas dan orangtua punya dana lebih, siswa bisa ikut bimbingan belajar.
Saya sebagai orangtua, selama ini selalu ragu, jika anak tidak ikut bimbingan belajar, apakah dia bisa lolos ke sekolah berkualitas? Akhirnya saya bersikap pragmatis, "ikut bimbel saja", karena hampir seluruh siswa di kelas juga ikut bimbel. Yang jelas dua anak saya kini sudah kuliah di di PTN ternama.
Fokus Kualitas
Siklus pendidikan semacam itu berlangsung bertahun-tahun hingga menjamur pula bimbel di mana-mana. Padahal sebagian dari mereka mematok ongkos mahal.
Pertanyaan mendasarnya adalah jika anak mengandalkan seratus persen belajar bersama guru di kelas apakah dia bisa lolos ke perguruan tinggi yang berkualitas?