Sebagai seorang penulis, saya merasakan bahwa bahasa memang senjata tajam. Ia bisa berguna untuk mengiris, memotong, menusuk, mengupas dan sebagainya. Tinggal kita mau pakai untuk apa. Bahasa bisa melukai atau menyembuhkan tergantung pemakaiannya.
Beberapa hari ini, di seputar Hari Guru Nasional, saya mengikuti beberapa seminar seputar pendidikan. Bisa dibilang, tema seminar yang lagi "viral" adalah tentang pendidikan karakter.
Pakar pendidikan dari mancanegara maupun dalam negeri menjadi pembicara seminar yang tersebar di berbagai tempat. Ada kesamaan pandangan dari mereka, bahwa peran orangtua, guru, masyarakat turut andil dalam menjadi model karakter bagi anak-anak, termasuk balita.
Pada prinsipnya, pendidikan karakter harus dimulai sejak dini. Di negara maju, seperti Denmark dan Finlandia, sekitar 60 persen anak 0-2 tahun bahkan sudah masuk taman bermain.
Kalau di Indonesia, taman bermain itu dikenal sebagai pendidikan anak usia dini (PAUD). Tapi di Indonesia, terbilang masih sedikit anak berusia di bawah 2 tahun yang masuk taman bermain.
Di luar seminar, saya kembali memasuki dunia nyata, bukan teori lagi. Saya menyadari, betapa masih banyak perjuangan yang harus dilakukan agar generasi muda kita khususnya anak-anak memiliki lingkungan yang positif bagi mereka.
Saat berselancar di dunia Maya, saya menyadari begitu banyak bahasa atau pesan negatif yang tersebar di berbagai media termasuk media sosial. Beberapa orang gagal mengendalikan kata-kata di medsos.
Bahkan di grup keluarga yang diikuti anak-anak, seringkali orangtua tidak bisa mengendalikan diri dalam berkata-kata.
Saya juga sering membaca komentar di bawah berita di media online. Dari bahasa yang digunakan, mereka gagal menampilkan karakter baiknya. Mudah ditemukan ungkapan yang mencaci maki, nyinyir, dan mengumpat.
Kalau kita mengacu kepada beberapa pemaparan pakar dalam seminar yang saya ikuti, jelas-jelas disebutkan bahwa orangtua harus memfasilitasi anak dengan lingkungan yang kondusif agar mereka bisa mengembangkan diri menjadi anak berkarakter.