Lihat ke Halaman Asli

Kebangkitan Nasionalisme di Burma (Myanmar)

Diperbarui: 18 Januari 2022   10:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Nasionalisme secara etimologi merujuk pada beberapa kata, seperti 'nation' yang artinya negara atau bangsa, 'nasionalis' yang berarti orang yang memperjuangkan kepentingan bangsanya, 'nasionalisme' yang bermakna kesadaran keanggotaan dalam suatu bangsa yang secara potensial atau aktual bersama-sama mencapai, mempertahankan, dan mengabadikan identitas, integritas, kemakmuran, dan kekuatan bangsa itu serta semangat kebangsaan, dan 'nasionalisme' yang bermakna paham (ajaran) untuk mencintai bangsa dan negara sendiri atau sifat kenasionalan. 

Maka secara terminologi dan etimologi, nasionalisme adalah sebuah paham atau kesadaran yang dimiliki oleh orang tertentu untuk memperjuangan kepentingan nation (bangsa) mereka.

Di Asia Tenggara kemunculan nasionalisme dapat dipahami sebagai dampak positif dari adanya praktik Kolonialisme (Susanto, 2016:144). Menurut Benedict Anderson, kehadiran nasionalisme dalam pembentukan nation-state dari tiap negara memiliki karakteristik yang berbeda-beda, begitu pula dengan Asia Tenggara. 

Pembentukan ini tidak terlepas dari proses penyatuan dan rekonsiliasi etnik yang diawali oleh adanya perasaan atau bayangan bersama sebagai sebuah bangsa. 

Lebih lanjut lagi, Anderson menyatakan adanya dua buah produk nasionalisme yang dihasilkan oleh praktik Kolonialisme dan Imperialisme negara Barat, yakni nasionalisme murni yang dipicu oleh pengalaman sejarah yang kompleks, dan nasionalisme yang terstruktur yang dipicu oleh media massa, pendidikan, sistem administrasi, dsb (Anderson, 2006: 113-114).  Dalam hal ini, Anderson secara eksplisit menjelaskan beberapa saluran pembentuk nasionalisme di Asia Tenggara. 

 Untuk memperkuat pernyataan tersebut, Anderson juga menyatakan bahwa pembebasan terhadap kolonialisme yang dilakukan oleh para nasionalis menentukan siapa saja yang termasuk ke dalam "komunitas imajiner" (Owen, 2005: 252-253),  merujuk pada pembentukan nation-state. 

Pembentukan ini diawali oleh identitas lokal yang beragam, kemudian disatukan oleh identitas sosial, seperti budaya, agama, bahasa dan adat-istiadat dan diperkuat oleh faktor-faktor terstruktur seperti media massa, pendidikan, dan sistem administrasi.

Dalam buku The Emergence of Modern Southeast Asia dijelaskan bahwa Nasionalisme kadangkala diawali dengan gerakan-gerakan sosial yang disebut sebagai episode-episode awal nasionalisme, yakni pemberontakan petani yang didukung oleh kekhasan budaya lokal, adat istiadat dan agama. 

Para pemimpin lokal berusaha membangun kohesi atau ikatan nasional melalui bahasa, agama, dan afinitas etnis, seperti misalnya Buddha di Burma (Tarling, 2008: 591). 

Salah satu contoh konkretnya adalah Pemberontakan Petani di Burma Selatan tahun 1930 yang dipimpin oleh Haya San (seorang biksu Buddha) yang mengajukan keluhan dari para petani kepada Dewan Umum Persatuan Burma dan memproklamirkan dirinya sebagai raja Buddha-Burma  untuk melawan kolonialisme Inggris, sekaligus mengembalikan idealism monarki masa lalu.

Buddha merupakan penggerak atau motor dalam perjuangan dan pergerakan nasional di Burma. Bahkan, dikatakan "To be Burman is to be Buddhist" yang artinya untuk menjadi orang Burma haruslah beragama Buddha  (Steinberg, 2010: 48). 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline