Lihat ke Halaman Asli

Rifqi Wijdan Zain

Mahasiswa Universitas Gadjah Mada

Jejak Spiritual di Tanah Mlangi: Meresapi Makna di Setiap Langkah

Diperbarui: 9 Oktober 2024   14:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Makam Kyai Nur Iman Mlangi (Dokumetasi Pribadi)

Saat melangkah di tanah suci ini, kenangan lama hadir berbisik. Udara tenang menyelimuti setiap sudut, mengajak siapa saja meresapi keagungan. Pilar-pilar kokoh arsitektur Jawa berpadu dengan alunan ayat suci yang menggema, memperkuat aura sakral yang meresap ke dalam jiwa. Masjid Pathok Negara Mlangi, tempat penuh doa-doa, berbalut kesucian, memancarkan cahaya spiritual bagi setiap pejalan yang datang, seakan setiap langkahmu disambut oleh lantunan doa yang abadi.

Gapura bertuliskan lambang Nahdlatul Ulama menyambut penuh makna, membawa kilasan kenangan akan masa sebagai santri di pondok pesantren. Masjid di Dusun Mlangi, Gamping, Sleman ini lebih dari sekadar nostalgia---ia menjadi penuntun menuju sisi spiritual yang lebih dalam. Di antara hembusan angin dan kedamaian, kami, teman-teman SMA dan aku, berkumpul kembali. Bukan hanya untuk mengenang, tapi untuk berdoa di masjid ini, melayangkan niat suci ke makam di sebelahnya, berharap pada kesucian yang terpancar dari tiap lantunan doa.

Dari beberapa makam yang tampak di kompleks tersebut, makam salah satu tokoh agama, Kyai Nur Iman Mlangi, terlihat menonjol. Beliau adalah keturunan langsung dari Sri Susuhunan Amangkurat IV dari Kerajaan Mataram, lahir sekitar tahun 1720-an. Kyai Nur Iman menjalani pendidikan pesantren seperti kebanyakan kyai pada masa itu, tetapi kemudian membuat pilihan yang berbeda. Ia memilih meninggalkan kemegahan istana untuk mencari kedamaian spiritual dan mengabdikan hidupnya pada agama. Nama "Nur Iman" sendiri adalah pemberian dari Kyai Abdullah Muchsin, sebagai simbol perjalanannya yang fokus pada pencerahan agama, jauh dari kemewahan dan sorotan kekuasaan keraton. Ketika pertama kali melihat wilayah Mlangi, Kyai Nur Iman terpesona oleh keindahannya. Ia menyaksikan suatu keajaiban: wilayah itu tampak bersinar dan harum (meleng-meleng tur wangi), sebuah penglihatan yang ia tafsirkan sebagai pertanda dari Yang Maha Kuasa. Hal ini yang kemudian mendorongnya untuk menetap di sana, memberikan nama "Mlangi" yang berakar dari ungkapan "meleng-meleng tur wangi."

Kopleks Makam di Sekitar Makam Kyai Nur Iman Mlangi (Dokumentasi Pribadi)

Suasana di pesarean sangat khusyuk. Tubuh kami tertunduk saat memasuki area pemakaman, di mana alunan ayat suci yang dibacakan semakin memperdalam pengalaman ziarah ini. Di bawah bayangan pepohonan tua, kami berdoa dalam keheningan. Ini bukan sekadar ritual, tetapi sebuah pertemuan spiritual yang mendekatkan kami pada yang Ilahi, sebuah wasilah, jembatan yang mempertemukan doa-doa dengan Sang Pencipta. Suasana penuh makna ini sangat kontras dengan dunia luar. Di luar pondok pesantren, kehidupan seolah bergerak dengan kecepatan yang tak terkendali, jauh dari ketenangan dan kontemplasi yang dirasakan di tempat ini. Suasana gegap gempita, deru kendaraan, dan hiruk-pikuk manusia tak bisa mencerminkan makna hidup yang mendalam, tak menyisakan ruang bagi refleksi spiritual yang seharusnya menyertai setiap perjalanan hidup.

Saat keluar dari masjid dan pesarean, kami melanjutkan perjalanan untuk berbincang dengan warga sekitar. Masyarakat Dusun Mlangi sangat ramah, penuh dengan nilai-nilai tradisi keagamaan yang kental. Mlangi dikenal sebagai salah satu basis Nahdlatul Ulama (NU) di Yogyakarta, dan pertemuan kami dengan warga memperkuat kesan itu. Mereka menyambut kami dengan terbuka, mengundang kami kembali kapan saja. Perbincangan dengan para penduduk membawa saya kembali pada masa kecil saya di Jawa Timur, di mana ajaran-ajaran NU sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari. Nuansa ke-NU-an di sini tak asing, ia bagaikan sebuah pengingat yang menguatkan hubungan antara spiritualitas, tradisi, dan kehidupan sosial. Mlangi adalah sebuah refleksi dari bagaimana ajaran Islam yang penuh kasih dan toleransi hidup di tengah masyarakat.

Warga setempat begitu hangat dalam menyambut kami. Mereka memperlakukan kami seperti keluarga yang sudah lama tidak pulang, selalu siap membuka pintu kapan saja kami ingin kembali. "Mas, kapan-kapan main lagi ke sini," ujar seorang bapak tua, senyumnya menyiratkan ketulusan yang dalam. Undangan ini terasa seperti jalinan persaudaraan yang tak terputus, mengundang kami untuk kembali kapan saja kami ingin menambah pengalaman spiritual di tempat ini. Warga Dusun Mlangi, dengan cara hidup yang tenang dan menghargai setiap detik waktu, mencerminkan kehidupan yang penuh makna, jauh dari kesibukan dunia luar yang sering kali mengabaikan esensi spiritual.

Saat kami meninggalkan Mlangi, ada sebuah rasa hangat yang melekat di hati. Perjalanan ini, lebih dari sekadar nostalgia atau pertemuan dengan teman-teman lama, telah membawa kami ke dalam sebuah pengalaman spiritual yang mendalam. Suasana pemakaman, pertemuan dengan warga, serta keheningan masjid yang dihiasi alunan doa-doa, membangkitkan refleksi dalam diri. Di tengah perjalanan pulang, saya merenung tentang makna hidup yang sering kali hilang di tengah hiruk-pikuk keseharian kita. Di luar pesantren, kehidupan bergerak cepat, seolah kita tak punya cukup waktu untuk berhenti sejenak dan merenungkan tujuan kita sebenarnya. Namun, di Mlangi, setiap langkah terasa bermakna, setiap nafas adalah pengingat akan Sang Pencipta.

Pengalaman ini adalah sebuah pengingat untuk kembali mendekatkan diri pada nilai-nilai spiritual, di tengah dunia yang terus bergerak dengan kecepatan yang tak selalu bisa kita kejar. Perjalanan kami ke Mlangi telah memberikan pelajaran penting: bahwa ada saatnya kita harus berhenti, meresapi kedalaman spiritual, dan menyadari betapa pentingnya kehidupan yang lebih tenang dan penuh makna. Bagi saya, yang tumbuh besar di lingkungan masyarakat NU di Jawa Timur, perjalanan ini seolah memperkuat ikatan dengan ajaran agama dan tradisi yang telah menjadi bagian dari diri saya sejak kecil. Dan Mlangi, dengan segala keheningan dan kedamaiannya, mengundang saya untuk kembali kapan saja---kapan pun saya merasa perlu merenung dan menemukan makna hidup yang sejati.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline