Lelah bukan berarti menyerah
Aku pernah berada dititik terendah dalam hidupku. Rasanya aku benar-benar tidak ingin mendengar dan mempercayai siapapun. Semua orang hanya melukai hatiku saja. Semesta yang katanya luas saja sudah gagal untuk membujukku---kembali menjadi kuat. Aku manusia---wajar saja bila aku merasa begitu lelah. Lelah oleh semua tipu daya manusia yang begitu durjana.
Kisah hidupku memang tak seindah negeri fantasi. Imajiku saja yang terlalu tinggi; aku tak sadar diri dengan kemampuanku---hingga pada akhirnya semua imajiku menghancurkan realitasku.
Hingga kau datang dan membisikkan sesuatu kepadaku:
"Jangan menyerah dulu. Lelahmu karena kegagalan dan cacian orang-orang; bukan untuk kau masukkan di dalam hati. Karena hati tidak akan pernah bisa menerima yang namanya rasa sakit. Nikmati saja prosesnya; jika semesta yang membuatmu lelah, maka semesta jugalah yang akan membuatmu bangkit."
Kalimat itu membuatku tersadar. Bahwa yang namanya leleah itu wajar, namun harus juga bisa dikendalikan.
Untukmu terima kasih telah mengingatkanku disaat aku benar-benar sedang terjatuh. Entah harus dengan cara apa aku membalasnya---mungkin cinta, mungkin setia.
Lelah mengajarkan kamu agar bisa bertahan. Bukan untuk terus meratapi sambil rebahan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H