Lihat ke Halaman Asli

Rifqi Seff

Mahasiswa

Antara Pilkada dan Pandemi Covid-19

Diperbarui: 25 November 2020   15:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto diambil dari: lipi.go.id


Tahun ini, topik mengenai pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) menuai banyak kritik di masyarakat. Mulai dari politisi, organisasi masyarakat seperti Muhammadiyah dan NU sampai masyarakat biasa sudah memberikan kritik tehrhadap penyelenggaraan Pilkada ini. Hal ini terjadi dikarenakan saat ini di Indonesia bahkan di seluruh dunia tengah menghadapi pandemi Covid-19 yang mana salah satu cara untuk menghindari penularan Covid-19 ini masyarakat harus menjaga jarak dan dilarang untuk membuat kerumunan. Tentu saja hal itu bertentangan dengan saat terjadinya pilkada yang mana pasti terjadi kerumunan orang, belum lagi kampanye yang dilakukan oleh para calon kepala daerah.

Sebagai contoh, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Medan, Sumatera Utara mengatakan bahwa kubu pasangan calon Pilkada kota Medan Bobby Nasution -- Aulia Rachman telah beberapa kali melakukan  pelanggaran protokol kesehatan, begitu juga dengan lawannya Akhyar Nasution -- Salman Alfarisi. Pelanggaran yang dilakukan berupa jumlah orang yang melebihi jumlah ruangan saat melakukan kampanye, tidak menjaga jarak dan tidak memakai masker. Kalau kita lihat, ini hanya di satu kota, belum lagi para pasangan calon di daerah-daerah lainnya.

Alasan Pilkada Tetap Dilanjutkan

Ikrama Masloman, seorang peneliti dari dari LSI Denny JA menemukan setidaknya ada tujuh alasan mengapa sebaiknya Pilkada 2020 tidak ditunda.

Pertama, alasan legitimasi. Apabila Pilkada ditunda, setidaknya ada 270 daerah di Indonesia yang akan dipimpin oleh pelaksana tugas (Plt). legitimasi Plt ini tentunya berbeda dengan kepala daerah yang Dipilih rakyat. Kewenangannya pun terbatas.

Kedua, alasan proporsi. Saat ini dari total 270 daerah yang menggelar pilkada hanya ada 16,3 persen yang masuk zona merah. Karena itu, tidak tepat jika harus pula membatalkan 83,7 persen wilayah lain.

Ketiga, soal kepastian hukum dan politik. Karena apabila Pilkada kembali ditunda dan menunggu vaksin dapat digunakan oleh masyarakat sampai saat ini masih belum ada kepastian. Para ahli pun tidak bisa memastikan kapan vaksin yang disahkah WHO dapat digunakan masyarakat.

Keempat, mengenai alasan pilihan kebijakan. Menurut Ikrama, dalam setiap situasi sulit atau krisis setiap pemimpin punya pilihan kebijakan yang tidak mudah namun tetap harus diambil dengan mempertimbangkan semua aspek. Presiden Jokowi sudah menyatakan sikapnya berkali-kali bahwa mereka memilih kebijakan untuk tetap melanjutkan pilkada sesuai jadwal yaitu 9 Desember 2020.

Kelima, alasan kesehatan. Ikrama mengatakan bahwa hanya 16,3 persen dari 270 wilayah Pilkada yang termasuk zona merah. Karena itu, di zona merah, Pilkada dapat diberikan aturan khusus. Misalnya tidak boleh membuat publik berkumpul lebih dari 5 orang. Sementara di wilayah lainnya tidak boleh publik berkumpul di atas 50 orang. Di sisi lain, protokol kesehatan juga tetap harus dijaga. Termasuk calon yang tidak mematuhi dapat dikenakan sanksi bertingkat hingga diskualifikasi.

Keenam, alasan ekonomi. Apabila Pilkada dilaksanakan, Ikrama berpendapat bahwa hal ini bisa menjadi penggerak ekonomi lokal.

Ketujuh, alasan modifikasi bentuk kampanye. Menurutnya, banyak referensi yang bisa ditiru dari pelaksanaan Pilkada di tengah pandemi dari berbagai negara.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline