Serangan Umum 1 Maret merupakan wujud nyata dari persatuan Bangsa Indonesia untuk menegakan kembali kedaulatan bangsa yang sudah diproklamasikan. Setelah Indonesia memproklamirkan kemeredekaannya, Belanda masih tetap berusaha ingin menguasai kembali Indonesia dengan berbagai cara. Indonesia saat itu sebagai negara yang masih muda melakukan sejumlah cara untuk mempertahankan kemerdekaannya, termasuk dengan cara diplomasi atau berunding dengan Belanda. Salah satu jalur diplomasi yang ditempuh kala itu adalah perjanjian Renville. Hasil Perundingan Renville yang ditandatangani pada 17 Januari 1948 itu ternyata cukup merugikan bagi Indonesia. Wilayah kedaulatan RI menjadi semakin sempit karena wilayah Indonesia hanya Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Jawa Timur dengan diterapkannya aturan Garis van Mook atau Garis Status Quo. Di tengah kekalutan politik Indonesia saat itu, Belanda menggempur kembali Indonesia dalam agresi militer II pada tanggal 19 Desember 1948. Agresi Militer Belanda II ini memiliki tujuan untuk menghancurkan kedaulatan Bangsa Indonesia dengan melakukan serangan di Ibukota negara yaitu Yogyakarta. Belanda ingin membuat ibukota Indonesia hancur sehingga menimbulkan rasa tidak aman yang membuat Bangsa Indonesia akan menyerah dan menuruti perintah Belanda. Selain dengan melakukan Agresi Militer Belanda II ini, Belanda ingin menunjukan kepada dunia internasional bahwa Indonesia dan TNI sudah tidak ada. Tindakan Belanda tersebut juga merupakan pelanggaran atas perjanjian Renville. Agresi militer II yang dikenal dengan Operasi Gagak ini dikecam keras oleh dunia Internasional. (Pratama, 2023:9 8 - 107)
Para tentara Belanda yang terdiri dari pasukan baret merah (Dutch Paratrooper) dan pasukan baret hijau yang dipimpin oleh Letnan Kolonel van Beek mulai tiba di Yogyakarta. Mereka mulai menyerang Pangkalan Udara Maguwo dan menembus pertahanan TNI. Pasukan dibawah komando Van Beek melakukan penyerangan di depan istana Gedung Agung sebelah Malioboro. Saat itu disana hanya terdapat Kompi II Corps Polisi Militer (CPM) yang dipimpin oleh Lettu Susetyo. Tembak menembak terjadi antara keduanya dimana saat itu jumlah pasukan Susetyo tidak sebanding dengan tentara Belanda. Pasukan yang dipimpin Susetyo semakin terhimpit sehingga muncul sebuah usulan agar Presiden Soekarno dan para pejabat sipil dibawa pergi dari dalam istana. Tetapi Soekarno saat itu memberikan perintah untuk berhenti menembak dan Letkol van Beek berhasil masuk ke istana dan menjadikan Soekarno sebagai tahanan rumah. Pasukan Belanda berhasil menguasai Yogyakarta pada pukul 15.30 dan mereka juga merebut kantor telepon dan gedung Radio Republik Indonesia (RRI). Setelah Yogyakarta berhasil dikuasai Belanda, Soekarno dibawa tentara Belanda dan diasingkan ke Sumatera. Namun semua elemen pada saat itu tetap menolak untuk kembali pada Pemerintah Belanda. Mereka memilih untuk bersatu dan berjuang menyusun strategi untuk menunjukkan kepada Belanda dan dunia bahwa Indonesia masih ada. Hal tersebutlah kemudian yang menimbulkan Serangan Umum 1 Maret 1949.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H