Lihat ke Halaman Asli

Gender “Kita” Antara Konstitusi Tuhan dan Relevansi Manusia

Diperbarui: 17 Juni 2015   09:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Di dalam kita menjalani kehidupan, melaksanakan rutinitas di kantor, pasar, sekolah, masjid dan lainnya pastilah kita temukan yang namanya laki-laki dan perempuan. Hal itu merupakan kesan awal yang bersifat kodrati dari tuhan yang memang tidak dapat dipertentangkan, ini sesuai dengan Firman Allah di dalam surat al-Hujurat ayat 13 “ ya ayyuhan nasu inna kholaqnakum min dzakarin wa untsa...” . konsekuaensi ini menimbulkan suatu ciri khas yang melekat yang menjadi identitas dari masing-masing individu. Seperti dari cara berpakaian, berjalan, bersikap, sampai tatanan syariatipun membedakan dari masing-masing keduanya. Membahas tentang gender memang sebuah pergulatan pemikiran yang memang tidak ada habisnya, hal ini timbul setelah beberapa dilegitimasi beberapa agama samawi khususnya. Dalam agama yahudi, nasrani pun terdapat teks-teks yang menyinggung betapa kehadiran keduanya begitu penting dalam tataran menjalankan kehidupan didunia. Tetapi kecenderungan ketiga agama samawi tersebut adalah seolah-olah memojokan para kaum perempuan dengan penempatan mereka lebih rendah dibawah laki-laki. Sentimen-sentimen ini sebenarnya sudah timbul sejak zaman kolonial belanda, yaitu gerakan yang dipelopori oleh R.A kartini dan dewi sartika, kedua pahlawan wanita kita memperjuangkan hak-hak kaum perempuan khususnya hak dalam memperoleh pendidikan yang memang dahulu dikuasai para kaum laki-laki khususnya para anak bangsawan maupun mereka yang berkongsi dengan pihak penjajah. Tetapi kalau kita cermati dengan saksama, perjuangan memperjuangkan hak perempuan bukanlah hanya dilakukan oleh kedua pahlawan tersebut, terdapat perjuangan yang dilakukan oleh kaum pesantren dengan berdirinya pondok pesantren khusus perempuan pertama di daerah denanyar , jombang dengan pelopornya K.H. Bisri Syansuri salah satu pendiri NU . kalau dahulu menitik beratkan perjuangannya dalam bidang pendidikan maka berbeda dengan zaman modern sekarang, meraka yang mengatas namakan kaum feminis mulai menyuarakan seruan seruan penyama rataan dalam segala aspek kehidupan, bahwa menganggap teks-teks ilahiyah sudah tidak relevan lagi dengan kehidupan modern yang menuntut kita berkarya untuk menjamin eksistensinya. Bahkan beberapa waktu yang lalu di Amerika terjadi kejadian yang begitu menyita perhatian kaum muslimin, yakni seorang perempuan yang mengimami sholat bagi laki-laki karena dianggap layak dan mampu menggantikan imam laki-laki. Dari peristiwa ini perlu adanya pelurusan mengenai sebagian hal yang seharusnya tidak dilakukan perempuan sebagai pengejawantahan sebuah hukum syariat Tuhan yang sudah kodrati bagi perempuan, untuk mengindarkan klaim-klaim yang danggap relevan justru menabrak sendi-sendi dari agama itu sendiri. Sebenarnya apa sih yang dinamakan gender ataupun seksual, apa perbedaan yang membatasi keduanya. Berikut ini saya akan bahas, apa sebenarnya Gender dan sex, hal hal yang membedakan diantara keduanya ?. sebenarnya kata Gender merupakan serapan dari bahasa inggris yang artinya sama dengan kelamin, tetapi berbeda dengan kata sex yang berarti kelamin secara kodrati anugrah dari Tuhan berupa laki-laki dan perempuan, gender yang dimaksud disini adalah tentang segala bentuk peran, hak, kewajiban, fungsi yang menjadi ciri khas dari individu laki-laki maupun perempuan yang telah disepakati oleh anggota sosial masyarakat sebagai hasil budaya di dalam suatu daerah maupun waktu tertentu. Pengertian ini memberikan gambaran logis tentang adanya perbedaan didalam budaya indonesia dengan budaya-budaya negara lain. Sebenarnya budaya yang memang karya manusia adalah sudah teruji betapa dapat memberikan proteksi didalamnya. Tetapi sama halnya seperti didalam khasanah keilmuan islam didalam kita memahami adat atau urf terdapat pengklasifikasian di dalamnya berupa urf fasid dan urf shohih inilah yang harus kita kawal dan bentengi apa yang menurut kita fasid maka hilangkanlah dan mana yang kita anggap shohih maka pertahankan dan kita lindungi keberadaannya. Tetapi akhir-akhir ini ada beberapa slentingan bagaimana mencoba menyamakan gender yang ada di barat dengan yang ada di kita, hal ini mencuat karena beberapa akibat globalisasi memang perlu adanya seperti itu. Di dalam al-Qur’an sendiri ayat yang menjelaskan maupun yang sering diperbincangkan sebagai sebuah sumber otoritatif pertama dalam islam adalah ayat 34 surat an-nisa’ “ ar-rijalu qowwamuuna ‘alan nisaa’i bi ma faddholallahu ba’dlohum a’la ba’diw wa bi ma anfaquu min amwaalihim...” inilah dalil yang sering para kaum laki-laki tawarkan untuk melegitimasi beberapa hak-hak dalam memperoleh sesuatu. Tetapi saya disini tidak akan menafsiri secara membabi buta selain saya bukan sebagai mufassir dan memang bukan kapasitas saya untuk menafsiri ayat ini. Di sini juga saya tidak menggunakan terhadap apa yang kaum feminis tafsirkan tentang ayat ini, karena memang bagaimanapun hal itu dilakukan merupakan tindakan dalam menafsirkan suatu teks-teks ilahi yang berlandaskan dari suatu golongan maupun kelompok. Dan tipe tafsir seperti ini memang tidak dibenarkan. Kalau kita cermati kata ar-rijal dan an- nisa’ adalah berbeda dalam hal makna yang terkandung didalamnya dengan kata dzakarun dan untsa. Ar rijal adalah kata yang menunjukan sesuatu itu berkecenderungan atau berpotensi bagi laki-laki seperti dalam hal kewibawaan, keberanian, kondisi psikis, maupun mental begitu juga kata an-nisa’. Walaupun tidak menutup kemungkinan seorang perempuan memiliki potensi-potensi seperti itu, tetapi potensi terbesarnya adalah bagi laki-laki. Seperti kata rijaalul amni yang berarti petugas keamanan, ataupun rijaalul i’shobaati yang berarti gerilyawan tentu saja kata diatas mencerminkan peran dari seorang laki-laki. Adapun kata “ bi ma” dalam ayat tersebut huruf “bi” baerfungsi sebagai ba’ li sababiyah atau sebagai konsekuensi dari sebuah tanggung jawab/peran yang dimiliki oleh seorang laki-laki maka Allah SWT melebihkan dari padanya sebagian yang lain. Di Dalam beberapa kitab tafsir seperti tafsirnya dua jalaludin atau mashur di sebut dikalangan pesantren dengan nama tafsir jalalin disebutkan الرجال قوا مون (مسلطون)على النساء (يؤدبونهن ويأخذون على أيديهن) بما فضل الله بعضهم على بعض(اى بتفضيله لهم عليهن بالعلم والعقل والولاية وغير ذلك) Dalam redaksi ini disebutkan para laki-laki mempunyai hak kontrol dalam mendidik akhlak seorang perempuan(baca:istri), dan logikanya adalah ketika ada seorang laki-laki mendidik akhlak atau perilaku atas perempuan maka memang laki-laki itu adalah seorang yang baik budipekertinya. Inilah alif lam(dalam: al-rijalu) itu berfaedah dimana sama halnya dengan suatu fungsi pembatasan dengan konsekuensi pada makna tidak semua yang mempunyai berkelamin laki-laki dapat lebih “kuat” atas perempuan. Alif lam(al-rijalu) merupakan alif lam ta’rif yang berfedah li ahdiyah, bukan li jinsiyah atau dapat terjadi pada keseluruhan jenis dari yang dimaksud. Tetapi memang secara formatif seperti itu adanya, dengan adanya kenyataan yang bertolak belakang dari sebuah produk tafsiran ro’yi. Sedangkan berbeda halnya dengan produk hukum yurisprudensi yang selama ini masih mapan beberapa kenyataan yang bersifat otoritatif seperti ketidak sah an bagi seorang perempuan sebagai imam bagi laki-laki, ataupun dalam hal faroid/ mawaris seorang anak laki lebih dikedepankan pemerolehan bagian yang lebih besar dari perempuan. Maka, walaupun ada seorang perempuan yang dari sisi dhohiriahnya unggul dari seorang/segolongan laki-laki tetap tidak bisa menggantikan hal itu. Dari beberapa kitab tafsir yang “kami” baca, ada kencenderungan adanya subordinasi bagi kaum perempuan, dengan ungkapan tentang tafsir surat al-nisa 34 “ kaum laki-laki berkuasa atas kaum perempuan didalam mereka mendidik “akhlak” perempuan, karena memang telah dilebihkan bagi mereka dari sisi akal, psikologis, kecakapan dalam memanajemen, baik manajemen konkrit ataupun produk pemikiran atau pendapat, sehingga Allah telah melebihkan bagi mereka dalam beberapa kasus seperti mengimami sholat, memimpin suatu kaum, dan sebagainya”. Kenyataan ini bagi para kaum feminisme sebagai produk intimidatif di dalam konstruksi sosial, dimana selalu perempuan sebagai kaum urutan kedua setelah laki-laki. Apakah seperti ini adanya ?. maka mereka menganjurkan adanya kritik terhadap teks-teks otoritatif, sebagai metodologi dalam menghasilkan produk pemikiran yang universal, dan utuh. Ada sedikit cerita, suatu saat kami melakukan sebuah kegiatan tahunan dimana kegiatan itu berfungsi untuk saling merekatkan emosional diantara anggota kami. Kami berangkat bersama dengan beberapa mengendarai sepeda motor dan sebagian yang lain menggunakan truk menuju sebuah pantai di daerah Malang selatan. Berangkat dari depan kampus kami pukul 10.30. sedangkan saya mengendarai sepeda motor bersama yang lainnya, rombingan kami sengaja berjalan belakangan karena kami mampir ke rumah teman yang memang stu arah dengan pantai tersebut. Setelah itu, kami melanjutkan perjalanan kembali,,,, perjalananpun masih lancar saja tanpa ada gangguan. Kemudian sampailah kami melewati sebuah tikungan tajam, kejadian yang tak kami inginkan pun terjadi, salah satu dari kami mengalami kecelakaan. Iya, dua orang dari kami terjatuh yang terdiri dari seorang laki-laki dan perempuan, kecelakaan itu diakibatkan tidak fungsinya rem yang seharusnya bisa minimal menghambat laju motor, motor tersebut menabrak sebuah tembok yang berdiri persis di saming jalan yang terdapat tikungan tajam itu, yang seharusnya motor melaju mengikuti jalanan, justru meluncur lurus karena tidak fungsinya rem sebagai kontrol ketika memang jalanan ramai dengan kendaraan lain. ada kejadian lain yang menyertai musibah ini sebagai bahan renungan kita bersama, setelah motor jatuh ada kejadian yang mengesankan saya dimana si perempuan yang membonceng begitu shock dengan hal itu yang menjadikannya terkapar tak berdaya walaupun tak terjadi luka apapun ditubuhnya, justru teman saya yang menyetir motor tersebut dengan paniknya langsung menghampiri siperempuan itu, karena takut terjadi apa-apa, padahal dengan kondisi luka-luka di sebagian tubuhnya, kenyatan inipun langsung saya renungi sebagai sesuatu yang menjadi bagian kecil dari Firman Allah di atas. Perlu diketahui kedua teman saya tadi merupakan aktivis di sebuah organisasi pergerakan kampus, si perempuan lebih tua dibanding teman saya yang laki-laki. Sebegitu shocknya kami perlu menunggu beberapa menit untuk menunggu perempuan tadi bisa normal lagi kekondisi semula. Dan akhirnya, setelah kami bersabar memberikan motivasi, dia pun dapat lebih tenang kondisinya, hingga kami dapat melanjutkan perjalanan. Dari peristiwa ini adalah sebuah gambaran real tentang hakikat bagaimana kita memandang perempuan secara utuh baik dari segala aspek kehidupan yang menunjang kediriannya. Ada sebuah slogan di kalangan orang jawa yang mengatakan perempuan adalah konco wingking, suargo manut, neroko katut. Tetapi apakah realitanya seperti ini? Begitu lemahkan sosok perempuan dimata “sebagian” orang jawa? Atau hanya sebuah slogan sebagai alat subordinasi bagi kaum perempuan?. Seperti sudah dikemukakan diatas tentang reinterpretasi surat an-nisa ayat 34, dan juga dapat ditarik kepada kenyataan peristiwa diatas, gus dur pun mengatakan dalam bukunya “ terminologi ayat ar rijalu qowwamuna “asasi manusia”. Tetapi yang terpenting ‘ala an-nisa’ sebenarnya antropologis. Diputar balik laki-laki memang qowwamun. Lebih tegar, lebih bertanggung jawab atas keselamatan wanita dari pada sebaliknya. Pengertian antropologis bisa juga berlaku dalam terminologi psikologis, yaitu pria melindungi wanita sebagai makhluk yang dianggap lemah. Tetapi, ada kekuatan pada wanita, yakni ia bisa memilih pria. Misalnya, seorang mahasiswi yang ingin diantar pulang kerena kemalaman, maka wanita bisa memilih siapa yang mengantar si A atau si B. Artinya, dalam kelemahannya itu wanita memiliki kedudukan yang lebih kuat”(islam kosmopolitan:2007: 376). Konsekuensi inilah yang menurut saya dapat sebagai tolok ukur bagi tugas “ke khlifahan” bagi individu perempuan maupun laki-laki. Ada sebuah batasan yang disitu sebenarnya merupakan titik tolak dimana sebuah keniscayaan atau sebuah penghargaan ke asasian itu bersemayam. Perempuan diciptakan dengan keterbatasan tugas tetapi memunculkan keistimewaan peran atau tindakan bagi dirinya maupun orang lain, yang semata-mata hanya ingin melindungi segenap jiwa maupun raga perempuan itu sendiri. Di indonesia sendiri taraf perjuangan bagi hak-hak perempuan menurut saya sudah menampakan sisi-sisi idealnya. Di sekolah-sekolah sekarang mereka dapat berdiri sejajar dengan laki-laki, di pasar begitu mendominasi aktivitasnya dalam segala transaksi, di jagat perpolitikan pun cukup nampak para politisi dari golongan perempuan, dan lain-lain. maka, ini patut kita syukuri sebagai anugrah peradaban yang bisa beradab, seandainya dalam tataran masyarakat kita dapat kita cerdaskan untuk dapat mengetahui mana yang batas, mana yang toleransi, dan mana yang keniscayaan. Setidaknya kita sama-sama dapat menghargai ketiganya. Maka jangan paksakan yang itu merupakan batasan kita seret dalam sebuah keniscayaan atau sebaliknya keniscayaan yang kita anggap terbatas. Keniscayaan seorang perempuan tidak dapat mengimami perempuan bagi laki-laki maka tidak dapat kita toleransi dengan hanya perempuan itu lebih pintar dibandingkan laki-laki disuatu kaum dapat menjadi imam, atau batasan aurat perempuan adalah semua bagian tubuh kecuali telapak tangan dan wajah ditoleransi dengan mencerabut batasan aurat tersebut dengan membuatnya lebih dari itu. Selain bernilai pragmatis ada nilai-nilai lain yang menurut saya patut sebagi bahan pertimbangannya. Kemudian, pertanyaanpun berlanjut, kepada siapakah semuanya itu dipertanggung jawabkan? Atau dengan bahasa sederhananya dari dan untuk siapakah semuanya itu kita serahkan?, dari sini saya pun mengatakan bahwa manusia sebagai penghasil, objek, pewaris, suatu kebudayaan maka bertanggung jawab sebagai agent of control bagi budayanya sendiri, dengan mengerahkan segala akal budi dengan dipandu unsur ilahiahnya, disini saya selaku orang islam maka islam sebagai sebuah agama, dengan segala produknya baik fiqih, tauhid, ataupun akidah sudah barang tentu turut kita ambil perannya dalam kita barbudaya dan beradab. Dan indonesia tentunya mengakui keTuhanan bagi setiap pemeluknya, memberi pengertian bahwa dalam berbudaya dan beradab menghargai unsur agama dalam segala aspek kehidupan.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline