Lihat ke Halaman Asli

Calon Ilmuan Politik yang Miskin Imajinasi Politik

Diperbarui: 24 Juni 2015   00:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Setiap fase perjalanan politik Indonesia berawal dari himpunan imajinasi liar setiap manusia yang hidup dalamnya, mengganti tatanan politik lama dengan tatanan politik baru. Kelahiran Indonesia menjadi sebuah republik, kejatuhan Orde Lama ditandai dengan dimulainya rezim Orde Baru, fase reformasi dimulai ketika orde baru berhasil di jatuhkan. Semuanya adalah buah yang dihasilkan dari perjuangan yang tidak mudah, terlebih ketika memasuki pemerintahan teror orde baru, namun satu hal yang sama dari peristiwa politik tersebut adalah imajinasi akan sebuah sistem politik yang lebih baik. Hanya orang-orang atau kelompok yang sangat diuntungkan oleh sistem tersebut yang akan mempertahankannya, namun dengan sendirinya terseret oleh arus imajinasi politik rakyat yang sangat deras, maka lahirlah tatanan politik yang baru.

Pada akhir masa kekuasaan Soeharto, mulai tumbuh gerakan-gerakan progresif yang berani berpikir kritis, dari mulai gerakan akar-rumput, organisasi masyarakat berlatar keagamaan, kedaerahan sampai partai politik. Semuanya bersatu dan berjuang bersama-sama untuk tujuan yang pasti, yaitu keluar dari krisis dengan menggulingkan rezim, karena tanpa gerakan yang terorganisir orde baru tidak akan tumbang. Rakyat percaya bahwa setelah rezim berhasil di tumbangkan maka akan tercipta sistem politik yang lebih baik, tidak ada lagi yang mempercayai pemerintahan Soeharto yang telah 32 tahun berada di tampuk kekuasaan. Artinya rakyat sadar bahwa politik adalah sebuah sistem, jalan keluar dariberbagai permasalahan yang di hadapi rakyathanyabisa diatasi dengan mencabut akar masalah itu sendiri yaitu kekuasaan politik.

Namun sayangnya, pasca-orde baru tidak nampak lagi gerakan-gerakan yang berangkat dari imajinasi akan suatu tatanan ekonomi,politik dan sosial yang lebih baik, demokrasi parlementari seperti yang dijalani hari ini sudah dianggap sebagai suatu sistem yang tidak ada kecacatan sama-sekali. Begitupun dengan gerakan mahasiswa, hanya ada beberapa gerakan progresif yang berani menantang dan mempertanyakan kembali sistem yang sangat rentan dilanda krisis ini, namun mayoritas gerakan mahasiswa berorientasi pragmatis. Intelektual muda kampus sibuk mengakses kekuasaan dengan turun pada kontestasi politik nasional ataupun mereplikasi sistem politik diluar sana untuk diimplementasikan didalam lingkungan kampus, dengan apa yang kita kenal Pemilihan Umum Raya (PEMIRA).

Pemira adalah miniatur politik nasional hari ini, dengan sistem multi partai dan voting untuk menentukan Presiden BEM, anggota DPM dan Gubernur Himpunan Jurusan.Asumsinya bahwa ketika orang-orang yang berasal dari partai berhasil duduk dilembaga-lembaga tersebut mereka murni bertindak sebagai representasi mahasiswa dan jauh dari kepentingan partai yang berkuasa, namun realitasnya tidak seperti demikian. Sentimen kepartaian akan sangat terasa dalam tubuh BEM, DPM dan HMJ, mulai dari formatur lembaga sampai program-program strategis.

Tidak ada yang baru dari Pemira, semuanya persis sama dengan sistem politik yang setiap hari kita kritisi di dalam kelas. Tidak ada satu pun partai kampus yang ideologis, menawarkan alternatif.Semua aktor yang terlibat didalamnya seperti sudah tidak mempunyai gairah untuk belajar menjadi seorang ilmuan politik dengan terus mengeksplorasi setiap inci pengetahuannya.Maka sudah tidak relevan melabeli mahasiswa sebagai agent of change jika hanya terus mempertahankan sistem yang sudah terbukti digerumuti oleh berbagai kontradiksi dan menganggap ide tentang perubahan hanyalah sebuah anekdot.

Jika kita memahami bahwa kegiatan politik adalah sebuah pengaturan masyarakat dan konversi sosial yang berjalan secara sistematis, terstruktur, politik adalah sistem dan sistem itu sendiri bukanlah sesuatu yang ajeg namun terus bertransformasi sama halnya seperti gerak sejarah peradaban maju. Argumen There is no alternative adalah justifikasi mental dari tatanan politik yang saat ini berjalan sekaligus menunjukan kemiskinan imajinasi politik para politisi kampus yang sedang dilanda puber kekuasaan dan gagal memahi politik sebagai sains.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline