Lihat ke Halaman Asli

Rifqi Fakhri Athallah

Mahasiswa UPN Veteran Jakarta

Serangga sebagai Solusi Alternatif Menghadapi Pemanasan Global

Diperbarui: 8 Juni 2023   00:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber : Freepik

Menurut penelitian, mengkonsumsi serangga layak makan mampu mengurangi pemanasan global. Hal ini karena ternak serangga lebih ramah lingkungan dibanding hewan ternak lainnya.

Dikutip dari PBS, hewan ternak menjadi salah satu penyumbang emisi gas rumah kaca terbesar di dunia. Sebesar 14,5% emisi gas rumah kaca berasal dari proses ternak hewan hingga proses pengolahannya menjadi makanan. Untuk menghadapi tantangan tersebut, mengubah sedikit jenis makanan kita dengan serangga layak makan dinilai para ilmuwan mampu mengurangi pemanasan global. Hal ini dikarenakan ternak serangga memerlukan lahan dan air yang jauh lebih sedikit, serta menghasilkan emisi gas rumah kaca yang jauh lebih kecil dari yang dihasilkan hewan ternak pada umumnya.

“Dibandingkan dengan babi dan sapi, serangga layak makan memiliki tingkat pertumbuhan yang lebih cepat, efisiensi konversi pakan menjadi makanan yang lebih tinggi, kebutuhan lahan dan air yang lebih rendah, serta emisi gas rumah kaca dan amonia yang lebih rendah.” ucap Klaus W. Lange dalam penelitiannya yang berjudul “Edible insects as future food: chances and challenges”.

Tidak hanya dampak lingkungan, mengkonsumsi serangga layak makan baik bagi tubuh, karena kualitas kandungan nutrisinya yang cukup tinggi.

“Kualitas nutrisi serangga layak makan nampak setara dan terkadang lebih unggul daripada makanan yang berbahan dasar burung ataupun mamalia.” Ucap Klaus dalam penelitiannya.

Solusi alternatif mengkonsumsi serangga ini, mungkin saja bisa menjadi solusi yang lebih baik ketimbang solusi lain seperti plant-based diet. Pasalnya, berbeda dengan ternak serangga yang membutuhkan lahan sedikit, tumbuhan seperti kacang kedelai, gandum, ataupun beras memerlukan lahan yang luas. Yang artinya tingkat deforestasi untuk membuka lahan pertanian juga dapat turut meningkat. Ditambah lagi dengan mayoritas lahan pertanian yang bersifat monokultur, membuat tanaman tersebut rentan terhadap hama dan penyakit, dan dapat menimbulkan masalah besar lain di kemudian hari.

“Jika kita mempertimbangkan bahwa hanya sembilan spesies tanaman yang menyumbang dua pertiga dari total produksi tanaman, maka jelaslah bahwa sistem pangan kita terpapar sangat rentan oleh perubahan iklim.” Ucap Stefan Schmitz, direktur eksekutif Crop Trust dalam artikelnya yang berjudul “Crop Diversity Can Save Food from the Climate Crisis”.

Di Indonesia sendiri, memakan serangga bukanlah hal yang baru. Di desa atau kampung masih sering dijumpai masyarakatnya mengkonsumsi serangga. Namun tidak demikian dengan masyarakat perkotaan yang kebanyakan sudah meninggalkan serangga sebagai makanan dikarenakan faktor higienitas dan lain sebagainya. Oleh karena itu, meningkatkan kembali minat masyarakat untuk mengkonsumsi serangga layak makan menjadi penting. Mengubah jenis makanan kita memang tidak mudah apalagi bila makanan tersebut adalah serangga, yang dianggap menjijikan dan kotor. Namun kalau dengan berani mencoba hal kecil seperti itu kita bisa menyelamatkan planet kita, kenapa tidak?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline