Lihat ke Halaman Asli

Penguntit Media Sosial (Twitter Stalker)

Diperbarui: 24 Juni 2015   02:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Bukannya sok-sok ngInggris dengan menambah judul Inggris, hanya biar judul artikel pertama ini kadar keseriusannya berkurang. Awalnya saya hanya ingin menggunakan judul Penguntit Media Sosial. Kalau dipikir-pikir pilihan kata-kata ini tepat adanya dengan apa yang akan saya tuliskan nantinya. Sayangnya meski dipikir-pikir sudah oke, tapi dirasa-rasa kok tidak oke. Sebab jika diucapkan berulang, rasanya seperti membaca judul skripsi yang ujung-ujungnya membuat senewen. Akhirnya dikurunglah judul ala bahasa Ratu Elizabeth II sebagai aksesori. Toh tulisan ini juga tidak dimaksudkan untuk dikirimkan sebagai artikel di media massa atau skripsi yang harus menggunakan kaidah KBBI. Ini hanya tulisan ala blogger yang jarang ngeblog karena terlalu goblog untuk sekedar nulis di blog (halah mbuh...)

Eniwe, yang mau ditulis ini sebenarnya bukan masalah sosial dengan teori atau kutipan dari orang terkenal (mengingat dan melihat kebanyakan tulisan kompasioner serius dan dengan bahasa yang modelnya orang-orang pinter). Ini hanya sekedar catatan harian. Yah namanya saja tulisan blogger yang jarang ngeblog jadi tulisannya cenderung goblog.

Jadi begini (surhat, suara curahan hati kekeke), beberapa malam lalu saya ngimpi. Diimpeni lebih tepatnya. Ketemu lagi dengan cinta pertama saya yang dalam mimpi saya itu masih ganteng, meski sekarang dia sudah bapak-bapak hahaha. Mak thek... hati dan otak konek alias kesetrum kenangan. Eh tiba-tiba yang awalnya cuek bebek soal kabar dia jadi pengen tau perkembangannya. Hidupnya kek apa, sekarang tambah gemuk ato enggak dan anaknya udah berapa. Setelah berjam-jam nglangut (yang padanannya lebih ke bengong sambil mikir mas first love), saya meraih ponsel besar bin lebar yang saya namai Lime.

Uthek-uthek sebentar, lalu masuk Google. Ketik namanya. Ketemu Facebook-nya. Klik linknya ternyata hanya namanya saja yang sama, tapi potonya beda, profilnya beda. Lalu klik Twitter. Cari namanya. Gak ketemu. Mikir, mengira-ngira, dia pakai ID apa. Ketemu, klik lagi. Adaaaaaa sodara-sodara. dan benar dia menggemuk tapi tetep ada sisa-sisa kegantengan pada dirinya. Eh, di nggandeng perempuan yang saya tebak istrinya.

Yung alah..... gak patah hati sih, tapi sedikiiiiiit kecewa. Padahal saya sudah tahu dia sudah menikah semenjak dulu kala. Kecewanya hanya karena sepertinya dia telah bahagia dan move on dari saya. hahaha jahat ya, saya kok jadi nggak rela gini. Eh eniwei saya gak mau curhat ini kok jadi gini sih.

Jadi sebenarnya saya itu mau ngomong (nulis) kalau kemudian saya stalkingin itu Twitternya yang isinya cuma beberapa tweet doang. Gak ada yang terlalu pribadi. Tiba-tiba ada tweet yang ternyata nge-link ke Kompasiana. Setelah diingat-ingat ternyata saya ingat kalau punya akun Kompasiana yang belum saya postingi apapun. Akhirnya lewat akun ini saya stalking lagi akunnya. hahahaha, suka deh bisa ngintip idupnya dikit.

Bener-bener ya zaman sekarang. Dulu ya waktu saya masih jatuh cinta sama dia di zaman esempe, susahnya minta ampun deh pengen tahu dikit soal hidupnya. Jangankan tahu di mana rumahnya, orang tuanya siapa, hobinya apa, ato dia punya pacar ato enggak. Pengen papasan aja susahnya minta ampun. Karena saya sekolah di madrasah, sapa-menyapa antar siswa laki-laki dan perempuan itu semacam tabu yang tidak dilarang. Maksudnya sih boleh tapi gimana gitu....

Coba ya pada zaman itu Twitter atau Facebook sudah ada. Mungkin saya ndak perlu senewen hanya karena susah papasan dan liat wajahnya. Cukup ketik profilnya, ketemu deh mukanya. Liat mukanya berjam-jam pun gak akan malu. Karena cukup hanya saya dan Tuhan saja yang tahu dan mungkin orang yang iseng ngintip apa yang saya lakukan di bilik warnet aja yang tahu.

Kalau dulu, papasan aja cuma bisa lihat beberapa detik doang lalu memalingkan muka karena malu. Enak memang jadi abege jaman sekarang. Kenalan dipermudah, pdkate dipermudah dan saling seneng-senengan dipermudah.

Sayangnya, sebagaimana hal-hal yang segalanya terlalu mudah, efek buruk dari yang segalanya mudah ini juga lebih mudah datang. Jadi kalo jaman saya abg tidak akan ada berita, "Anak Esempe ini Dibawa Kabur Kenalannya Lewat Facebook",  kalau sekarang berita semacam itu seperti datang sebulan sekali. Ato kalo nggak, kasus yang parah, menikah dengan sesama lelaki karena mengira si "istri" itu perempuan tulen setelah melihat profilnya di facebook. Sigh... belum lagi yang akhirnya perang terbuka di Twitter seperti artis-artis yang suka cari sensasi itu.

Karena media sosial semua jadi lebih terbuka, lebih mudah mengintip hidup orang lain dan akhirnya timbul kebiasaan-kebiasaan yang jaman abege dulu hanya sebuah bayangan. Menguntit hidupnya seperti yang saya lakukan pada mas first love saya.  Privacy lebih mudah dibagi, cerita lebih mudah dipamerkan dan drama menjadi makanan hidup sehari-hari. Semua karena media sosial. Keren sekaligus mengkhawatirkan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline