Lihat ke Halaman Asli

Rekonstruksi Karakter Politis Zakat

Diperbarui: 24 Juni 2015   01:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tahun 2014 yang diasumsikan sebagai tahun yang strategis bagi pertumbuhan zakat nasional. Tahun dimana akan diimplementasikan peraturan baru perzakatan di bawah rezim UU No. 23/2011. Namun jika menengok kebelakang, akan ditemukan beberapa fakta menarik terutama kaitannya dengan perjalanan legislasi tentang pengelolaan zakat.

Sebagaimana yang diketahui, di antara rukun Islam yang memiliki kaitan dengan ranah ekonomi adalah zakat dan haji. Tentang pelaksanaan ibadah haji, Departemen Agama telah sejak lama mengurus ONH dan mengatur segala sesuatunya yang berhubungan dengan ibadah haji masyarakat. Tak bisa dipungkiri bahwa jumlah jama’ah haji dan ONH telah ambil bagian dalam menentukan kondisi ekonomi umat. Dengan meningkatnya jumlah jama’ah haji dan ONH meningkat pula perekonomian umat.

Di pihak lain, zakat sebagai sebuah instrument filantropi Islam yang utama belum memiliki peran signifikan sebagai kriteria untuk menentukan kondisi umat. Bahayanya, jika sampai masyarakat awam berasumsi bahwa zakat hanya bersifat anjuran dan bukan kewajiban. Pun perjalanan produk legislasi  undang-undang pengelolaan zakat dari awal mula terbentuknya hingga saat ini mungkin tak selalu mulus. Meskipun mayoritas penduduk yang beragama Islam, sejarah terlanjur mencatat bagaimana perjalanan legislasi zakat yang terjal dan berliku.

Pada tahun 1951, melalui Surat Edaran Kementrian Agama No. A/VII/17367 yang melanjutkan ordonansi Belanda, dengan tegas dinyatakan bahwa Negara tidak mencampuri urusan pemungutan dan pembagian zakat, tetapi hanya melakukan pengawasan saja. Selanjutnya pada tahun 1964 Kementrian Agama pada masa Menteri Agama K.H Saifuddin Zuhri mengeluarkan inisiatif penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang pelaksanaan zakat. Selain itu ia juga berinisiatif menyusun Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang  tentang Pelaksanaan Pengumpulan dan Pembagian Zakat serta Pembentukan Baitul Mal. Namun pada akhirnya proses tersebut terhenti dikarenakan situasi politik nasional yang tidak memunginkan saat itu.

Pada era orde baru, Menterti Agama KH. M. Dahlan mengirimkan RUU Zakat ke DPR-GR dengan Surat Nomor MA/095/1967. Dalam surat tersebut diebutkan bahwa pembayaran zakat adalah sebuah keniscayaan dalam masyarakat muslim, sehingga minimal negara mempunyai kewajiban moril untuk mengaturnya. Namun upaya itu berujung gagal, karena tidak ada kesepakatan dengan menteri terkait.

Barulah pada tahun 1999, di masa Presiden B.J Habibie Undang-Undang Pengelolaan Zakat lahir. Pada tahun itu, Pemerintah bersama DPR menyetujui lahirnya UU NO.38/1999 tentang Pengelolaan Zakat. Ditindaklanjuti dengan keputusan Menteri Agama No. 582/1999 tentang Pelaksanaan UU No. 38/1999 dan keputusan Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji No. D/291/2000 tentang pedoman teknis Pengelolaan Zakat. Undang-undang ini merupakan produk legislasi DPR-RI yang bersejarah bagi umat Islam. Menteri Agama saat itu adalah Prof. Drs. H.A. Malik Fadjar, sedangkan DPR-RI dipegang oleh H. Harmoko sebagai ketua MPR/DPR-RI periode terakhir sebelum pimpinan MPR-RI dan DPR-RI dipisah.

Pada akhirnya, Rapat Paripurna DPR-RI mensahkan RUU No.23/2011 tentang Pengelolaan Zakat, Infaq dan Shadaqah menjadi Undang-Undang tentang Pengelolaan Zakat sebagai  pengganti No.38/1999. Setelah 12 tahun berjalan, undang-udang tersebut  sudah dianggap tak sesuai  dengan perkembangan kebutuhan hukum dalam masyarakat hingga perlu diganti.

Perjalanan berliku legislasi zakat secara umumnya mengindikasikan kelemahan karakter politik zakat. Istilah karekter politis zakat (zakat political character) sebagaimana yang dinyatakan oleh Dr. Ugi Suharto berarti bahwa penerapan zakat sangat bergantung pada komitmen penguasa. Lebih lengkapnya zakat memiliki dua karakteristik utama. Pertama, karakter ibadah mahdhah dan karakter politis. Karakter pertama merupakan pengejawantahan zakat sebagai salah satu rukun Islam yang lima. Yang terakhir disebutkan, merupakan refleksi daripada deklarasi perang Abu Bakar terhadap kelompok yang menolak untuk membayar zakat pasca wafatnya Rasulullah SAW.

Beberapa faktor lainnya turut membuat karakter politis zakat menjadi sebuah keniscayaan. Pertama, perintah zakat bukanlah semata-mata bersifat karitatif, namun otoritatif. Sehingga para ulama Syafi’iyyah dan Malikiyah berpendapat bahwa wajib bagi para waliyyul amr untuk mengirimkan petugasnya untuk mengambil harta zakat dari para muzakki. Ditakutkan masyarakat yang telah mencapai criteria sebagai seorang muzakki tidak melaksanakan kewajibannya. Selain itu, telah tertera perintah untuk memungut zakat dari para muzakki. Sebagaimana yang tertera dalam Al-qur’an, surat At-taubah ayat 103.

Berdasarkan penelitian Badan Zakat Nasional (BAZNAS) dan Fakultas Eonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor (FEM IPB), potensi zakat nasional mencapai angka Rp. 217 triliun atau 3,4 persen dari product domestic bruto (PDB). Namun sayangnya, terdapat kesenjangan yang tajam antara das sein dan das sollen. Realita dilapangan menunjukkan bahwa zakat hanya terkumpul dan tercatat sebesar Rp. 2 triliun hingga Rp. 2,2 triliun dari Rp. 217 triliun potensi besarnya. Hal ini, sebagaimana yang disampaikan oleh Irfan Syauqi Beik, staf Ahli BAZNAS dikarenakan tidak adanya instrument yang memiliki kekuatan hukum positif.

Jika berapologi bahwa pendekatan bottom-up approach lebih mudah direalisasikan dari pada pendekatan top-down, setidaknya beberapa upaya yang bisa diberlakukan tak sepenuhnya ditinggalkan. Sebagaimana dalam kaidah fikih “ma laa yudraku kulluh, la yutraku kulluh” apa yang tidak bisa dicapai seluruhnya tak boleh ditinggalkan seluruhnya.

Pertama, mengupyakan reonstruksi karakter politis zakat tentu saja dimulai dari sumber daya yang ada saat ini, terutama dari kalangan intelektual. Pengkajian mendalam tentang zakat merupakan sebuah kebutuhan guna menghasilkan data-data yang argumentatif. Pada akirnya hasil riset dan temuan-temuan terbaru yang didapatkan mampu disalurkan kepada instansi-instansi pengelola zakat hingga diajukan pada pemerintah.

Selanjutnya adalah, perlunya dibentuk institusi pada tiap-tiap instansi pemerintah maupun corporate yang menangani zakat (zakat profesi). Yang terakhir disebutkan telah mulai implementasinya oleh beberapa perusahaan seperti Superintending Company of Indonesia (Sucofindo) melalui Lembaga Zakat Al-hakim Sucofindo. Dan juga Garuda Indonesia melalui Lembaga Amil Zakat, Infaq dan Shadaqah (Lazis) Garuda. Dalam kaitannya dengan corporate, zakat juga memberikan dampak positif lainnya. Selain penghimpunan zakat yang lebih terkorrdinasi, perusahaan pun akan lebih dikenal masyarakat.

Pada akhirnya, dengan mengoptimalkan kembali karakter politis zakat diharapkan persepsi masyarakat terhadap zakat dapat terarahkan. Bahwa ia bukanlah sebuah karitas semata, namun juga sebuah keadilan internal yang terlembaga sekaligus sebagai salah satu dari rukun Islam yang lima.

Wallahu a’lam bisshawab

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline