Lihat ke Halaman Asli

Rifqi Muhammad

Seorang penjahit

Bioskop Permata Yogyakarta, Citarasa Baheula

Diperbarui: 26 Juni 2015   09:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Barangkali masyarakatYogyakarta saat ini tidak lagi mengenal Bioskop Permata. Namun ia adalah kenangan terindah. Terutama bagi mereka yang sempat hidup di Jogja sekitar tahun 60-an, Bioskop Permata bisa dikatakan sebagai satu-satunya hiburan idaman. Bahkan bisa dikatakan tidak ada satupun tempat hiburan di Jogja yang mampu mengalahkan sebuah Bioskop Permata. Bioskop paling bergengsi di jogja. Bioskop Permata berdiri di Jalan Sultan Agung sejak tahun 1940-an. Tak bisa di elak. Bioskop ini menjadi salah satu bagian penting dalam sejarah perfilman layar lebar di Indonesia. Posisinya tentu tak bisa direduksi dalam lokalitas Jogja. Bagaimanapun dunia perfilman Indonesia tak bisa begitu tegak berdiri tanpa sokongan dari Jogja. Andil perannya dalam dunia perfilman yang begitu besar, tentu saja tak bisa dilepaskan begitu saja dari Bioskop Permata ini. Kembali kita mengenang Bioskop Permata. Saya jelas hanya mengenal bioskop ini dari cerita, baik itu melalui lisan maupun tulisan. Tanpa mendengar kisahnya dan mengetahui alamatnya, jejak bioskop ini hampir tidak bisa dikenali. Gedung yeng dulu memiliki pamor itu kini berdiri kusut seperti tak terurus. Ia memiliki daya tarik lantaran temboknya yang berselimut mural karya Aaron Noble asal San Fransisco. Tanpa hiasan itu, bangunan bioskop permata ini hanya tampak sebagai bangunan yang tergolek biasa. Kalau kini kita bisa ke XXI, Movie Box, atau di tempat pemutaran film untuk umum yang lain, dulu bapak-ibu atau embah kita hanya mengenal satu ruang publik untuk menonton film. Begitu fenomenalnya bioskop ini, sampai-sampai kawasan tersebut lebih dikenal sebagai kawasan Permata ketimbang sebagai jalan Sultan Agung. Namun kini ketika kita coba sejenak menengoknya, nama besar bioskop itu memang sudah saatnya menjadi legenda. Artinya, kekaguman kita atas Bioskop Permata bukan lagi pada kemampuannya untuk menghadirkan hiburan film teranyar, melainkan pada keberadaannya sebagai pelaku sejarah. Bioskop Permata tak lagi menjadi pusat perfilman, tapi ia berdiri sebagai akar kebesaran perfilman. Gedung bersejarah itu lebih sering hadir sebagai bagunan yang lengang. Tanpa torehan mural di sekujur temboknya, bangunan ini pun hampir tidak memiliki daya pikat bagi setiap mata yang melewati jalan Sultan Agung. Bukan ini berarti Bioskop Permata sudah tidak beroperasi. Sedikit memasuki ruang loby, anda akan mendapatkan suguhan yang tidak akan didapatkan dibioskop-bioskop lain. Nuansa klasik terasa dari interior bangunanya. Seperti memasuki mesin waktu, kita akan merasakan suasana dimana belum ada telepon genggam, VCD player, Internet, apalagi blackberry. Ketika menikmati film pun engkau tak perlu duduk beku. Menonton bioskop dengan gaya duduk sesukamu, sembari merokok dan menyantap cemilan dan minuman, bukankah lebih menyenangkan? Fasilitas istimewa Inilah yang bakal kau dapatkan di bioskop permata. Kedengaran seperti promosi, kah? Tak perlu tergesa menilai begitu. Tulisan ini menyajikan apa yang bakal didapatkan seiring film mulai diputar di layar besar dengan gain yang keras, juga scrects film sangat khas dengan sedikit noise di hamparan gambar. Inilah Bioskop Permata, bioskop citarasa jaman baheula [RifqiMuhammad].

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline