Lihat ke Halaman Asli

Pentas Drama Hutbah Munggaran di Pajajaran, Padepokan Sobarnas Martawijaya

Diperbarui: 23 November 2021   13:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dokpri

Padepokan Sobarnas Martawijaya Jl. Raya Cipanas, Kp. Tegalsari, Ds. Lagensari RT 004 RW 004 Tarogong Kaler Kabupaten Garut menampilkan sejarah Kerajaan Sunda di Pajajaran melalui aksi drama. "Hutbah Munggaran di Pajajaran" karya Yus Rusyana menjadi naskah yang dibawakan dalam pertunjukan drama tersebut selama tiga hari berturut-turut, sejak tanggal 24-26 Oktober 2020. Pertunjukan ini termasuk bentuk apresiasi penghargaan pada naskah "Hutbah Munggaran di Pajajaran" yang sempat hilang selama 50 tahun dan akhirnya ditemukan kembali pada tahun 2015. Selain aktif menulis, Sastrawan Yus Rusyana merupakan pendiri Liga Drama. Beberapa karyanya berhasil ditampilkan seperti Cahaya Maratan Waja (1964), Hutbah Munggaran di Pajajaran (1965), dan Di Karaton Najasii (1966) oleh kelompok teaternya (Liga Drama).  

Adapun sutradara dalam pentas ini yaitu Ari Kpin yang merangkap sekaligus menjadi pemain sebagai Jaya Antea. Bakatnya yang sangat berlimpah, baik sebagai pemusikalisasi puisi terkenal, peran pentingnya pada bidang teater, Ari Kpin pun mengisi ilustrasi musik pada pertunjukan ini, berupa tembang bersama dengan Jamuga. 

Drama yang ditampilkan, Komunitas Budaya Posstheatron Garut (KBPG) dan Himpunan Sastrawan Dramawan Garut (HISDRAGA) menggabungkan sejarah, dogeng, dan babad tentang Prabu Kean Santang dalam cerita penyebaran agama Islam di Pajajaran. Dinas Kebudayaan Pariwisata Kebudayaan Kab. Garut dan Pemerintah mendukung program Fasilitasi Bidang Kebudayaan (FBK) Tahap 1 2020 Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI melalui pertunjukan drama bertemakan keagamaan.

Drama "Hutbah Munggaran di Pajajaran" menceritakan tentang peristiwa penyebaran agama Islam yang dilakukan oleh Kean Santang di lingkungan Kerajaan Pajajaran. Pengislaman Pajajaran ditentang oleh Jaya Antea yang ternyata memiliki dendam oleh Prabu Siliwangi sejak Pengusirannya dari Pajajaran. Jaya Antea berusaha memecah belah Kerajaan Pajajaran dengan menumbalkan teman sesama prajurit bernama Gori untuk bertanggung jawab atas perbuatan buruk Jaya Antea. Namun, niat baik Kean Santang untuk mengislamkan Pajajaran tetap kokoh termasuk mengajak ayahnya Prabu Siliwangi untuk menganut agama Islam. Kean Santang percaya bahwa Kerajaan Pajajaran akan lebih Jaya dengan ideologi Islam. Hal tersebut diyakini oleh Kean Santang sejak kepergian Kean Santang ke suatu tempat di Makkah. Di sana, Kean Santang bertemu dengan seseorang yang lebih sakti darinya dan membagi rahasia kesaktiannya yakni, berada di jalan Islam selama hidupnya.

Dalam drama, laki-laki berjenggot berjubah putih mengawali cerita Pajajaran. Tokoh ini menggambarkan orang sakti, Ki Lengser yang ditandai dengan adanya dupa dan beberapa bunga sebagai sesajen dalam aksi dramanya.  Pengislaman Pajajaran dilakukan oleh Kean Santang dengan pembacaan syahadat yang kemudian melahirkan pergolakan antar saudara, Kean Santang dan Jaya Antea.

Pertunjukan drama menjadi media dalam mentransmisikan cerita zaman dahulu pada saat ini, khususnya drama "Hutbah Munggaran di Pajajaran".  Para tokoh yang memainkan peran didandani dengan pakaian dan make up untuk mendukung perannya. Seperti make up Kean Santang, perawakan yang digambarkan yakni kumis dan jenggot serta sorban yang dikenakan memunculkan kesan orang yang bijaksana dan mengerti agama. 

Begitupun dengan penampilan Jaya Antea dengan ikat kepala dan aksesoris di kedua pundak dan tanggannya yang terlihat berbahan keras menambah kesan sangar dan pemberontak. Penataan panggung juga sangat disesuaikan dengan latar cerita drama, seperti saat peperangan latar yang disajikan yakni seperti pelataran kerajaan dengan karpet ditengahnya. Hal ini menandakan bahwa Kerajaan Pajajaran sangatlah luas. Penggunaan properti background putih pada layar utama pertunjukan drama membuat fokus penonton tetap kepada para pemain drama. Adanya gerakan silat dalam drama tersebut, menyimbolkan kekompakan dan satu ideologi, yakni ideologi yang sama dengan Kean Santang.

Pandemik tidak mengubah Padepokan Sobarnas Martawijaya untuk batal menggelar pertunjukan drama. Meskipun dalam keadaan yang sangat sulit untuk mengharapkan penonton dalam jumlah banyak, KBPG dan HISDRAGA tetap menunjukan penampilan terbaiknya. Tentunya didukung oleh penataan panggung, kostum dan musik. Salah satunya musik Pajajaran Sirna yang dibawakan oleh Jamuga. Adapun para pemain di dalam drama Hutbah Munggaran di Pajajaran, Deden Falah sebagai Kean Santang, Ari Kpin sebagai Jaya Antea, Oky Lasminingrat sebagai Purnama Sari,  Wa Ratno sebagai Rajah, Irvan Budiansyah sebagai Bagus Setra, Yadi Kurniadi sebagai Salahudin, Asep Zaenal Mutaqien sebagai Ki Lengser, Fajar Bintang, Miftah Mubarok sebagai Rakean/ Kalang Sunda.   Dimas,  Abdul Azis,  M. Arsy, Irpan Gori,  Fauz, I M. Alif, Yudistira, Shenita, Eva, Aji Lingga, Shantia, Erik, Djohan, Faris Fm, Jidan, Dani, Sep Hilmi, Errival, Ikbal M, Risdan sebagai para Prajurit Pajajaran dan Wadya balad Kean Santang.

Meskipun pertunjukan drama ini memegang erat kebudayaan Sunda dengan menggunakan bahasa Sunda Klasik, penonton yang tidak mengerti bahasa tersebut sulit memahami isi ceritanya dengan baik. Pemberian keterangan bahasa Indonesia dapat mempermudah penonton dalam menyimak kisah Pajajaran hingga tuntas. Pertunjukan dengan menggunakan beberapa latar, pencahayaan dan ilustrasi musik mendukung dalam penyampaian isi cerita itu sendiri. Penonton drama secara langsung memang dibatasi, tetapi kemudahan teknologi informasi menjadi jalan keluar untuk tetap memberikan apresiasi untuk para pemain yang telah membawakan drama "Hutbah Munggaran di Pajajaran". Drama ini telah dipublikasikan pada akun di media sosial Youtube Komunitas Budaya Posstheatron pada tanggal 19 November 2020. Dengan begitu melalui pertunjukan drama ini, penonton dan pemain dapat tetap menambah pengetahuan sejarah daerah-daerah tertentu dan melestarikan kebudayaan kesenian serta mengembangkan karya sastra itu sendiri terlebih pada masa pandemi. (Rifna Merisha)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline