Kekayaan ekosistem yang melimpah, merupakan berkah yang tak terbatas dari Tuhan yang Maha Kuasa. Semuanya tercipta dengan hubungan resiprokal yang baik dalam memenuhi kebutuhan satu sama lain. Layaknya simbiosis mutualisme yang saling menguntungkan setiap pihak untuk bisa berkembang jika setiap unsur yang ada tentunya bisa saling menjaga dan mengerti akan setiap keadaan makhluk hidup yang ada di dunia.
Terlepas dari itu semua, kekayaan alam yang terkandung di bumi ini telah diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 33 Ayat 3 yang berbunyi, "Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat."
Dalam artian bahwa negara memiliki tanggung jawab dalam memenuhi hajat hidup orang banyak dengan cara mengelola segala kekayaan sumber daya alam yang ada dengan tetap menjaga kelestarian alam tersebut maupun dibutuhkannya partisipasi masyarakat Indonesia sendiri dalam berpartisipasi untuk bisa menjaga ekosistem kita bersama.
Sayangnya, hal-hal kecil maupun destruktif seperti membuang sampah sembarangan, pencemaran air laut dan pembuangan limbah oleh pihak yang tak bertanggung jawab, menjadi sebuah masalah yang lumrah dan repetitif oleh pihak-pihak tersebut dan telah hilangnya kesadaran dari beberapa orang yang melakukan hal itu.
Dibutuhkan banyaknya pelopor dalam menjaga lingkungan tentunya sangat penting untuk dimulai. Baik dari memberi pengaruh positif sejak dini kepada anak-anak dalam pendidikan formal maupun nonformal mengenai pentingnya menjaga lingkungan, tindakan preventif ataupun represif dalam menekan angka penyebab permasalahan lingkungan, dan hal lainnya yang dapat merugikan ekosistem kita sebagai warna-warni nusantara yang sebenarnya dapat dikelola untuk kebaikan kita dan individu lainnya.
Contohnya saja saat ini yang dapat kita ambil adalah Padang Lamun dan Duyung. Banyak orang masih jarang mendengar akan nama kedua makhluk hidup ini. Lamun adalah tumbuhan berbunga yang tumbuh di dasar perairan dan membentuk hamparan yang disebut Padang Lamun. Padang Lamun sendiri berbeda dengan rumput laut, enceng gondok, dan jenis tanaman tumbuhan air lainnya.
Menurut Nontji (2002) Lamun (seagrass) adalah tumbuhan berbunga yang sudah sepenuhnya menyesuaikan diri untuk hidup terbenam di laut. Dimana rizoma merupakan batang yang terbenam dan merayap secara mendatar, serta berbuku-buku.
Lalamong, Samo-Samo, Rumput Lela, dan beragam sebutan bagi Padang Lamun merupakan keanekaragaman yang luar biasa dari setiap daerah dalam menamai makhluk hidup yang satu ini. Lamun sendiri tumbuh di dalam air laut yang bersubstrat pasir atau campuran pasir, lumpur, dan pecahan karang, sampai ke kedalaman air laut yang tidak lagi terkena penetrasi sinar matahari.
Sebaran lamun sendiri hanya 0,2% dari seluruh area perairan di Bumi. Fungsi Lamun sendiri sangat beragam mulai dari menjadi produsen primer, habitat bagi biota laut, peredam arus atau gelombang, dan pemerangkap sedimen. Lamun juga dapat dimanfaatkan sebagai kompos, cerutu, penyaring limbah, stabilizator pantai, obat-obatan, dan sumber bahan kimia.
Dibalik kegunaannya yang sangat bervariasi, ironi, dari 1.507 km2 luas padang Lamun di Indonesia, hanya 5% yang tergolong sehat, 80% kurang sehat, dan 15 % tidak sehat (LIPI, 2017). Selain itu, perusakan Padang Lamun antara lain karena ketidaktahuan masyarakat, kemiskinan, keserakahan, dan masih lemahnya perundangan dan penegakan hukum yang efektif.
Padang Lamun menjadi sebuah rumah kecil bagi mereka, makhluk hidup di lautan, yang memiliki simbiosis dan fungsi tersendiri bagi Lamun. Sehingga, tingkat urgensi dalam kepedulian setiap masyarakat Indonesia dalam melindungi flora dan fauna ini menjadi tanggung jawab yang besar bagi kita dan bukan hanya pemerintah.