Lihat ke Halaman Asli

Pilar-Pilar Filsafat Dakwah: Membangun Karakter dan Keberlanjutan Sosial

Diperbarui: 14 November 2024   19:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pada Rabu, 13 November 2024, mahasiswa semester 3 Program Studi Manajemen Dakwah kelas A, B, C, dan D mengikuti kuliah bersama dalam mata kuliah Filsafat Dakwah yang membahas tema "Filsafat Dakwah dan Pembangunan Karakter". Dalam pertemuan ini, mahasiswa diajak untuk mendalami peran strategis dakwah dalam proses pembangunan karakter bangsa, serta mengevaluasi sejauh mana efektivitas dakwah dalam membentuk karakter individu di masyarakat. Diskusi ini berfokus pada bagaimana dakwah tidak hanya sebagai penyampai pesan agama, tetapi juga sebagai sarana pembinaan nilai-nilai moral dan etika yang mendukung pengembangan karakter pribadi dan kolektif bangsa.

Selain menyebarkan ajaran agama, filsafat dakwah Islam bertujuan untuk menanamkan akhlak yang mulia dengan menekankan pentingnya keseimbangan dalam hidup. Menurut QS. Al-Baqarah:143, umat Islam diharapkan menjadi masyarakat pertengahan yang memperhatikan kebutuhan spiritual dan moral orang lain. Seperti yang dinyatakan dalam QS. An-Nahl:125, dakwah harus dilakukan dengan hikmah dan nasihat yang baik, agar pesan agama dapat diterima dengan hati yang lapang tanpa paksaan atau kekasaran. Metode ini membuat pesan agama lebih mudah dipahami dan dihayati oleh mereka yang menerimanya.

Filsafat dakwah Islam tidak hanya bertujuan untuk menyebarkan ajaran agama, tetapi juga untuk menciptakan akhlak mulia dengan mengedepankan keseimbangan dalam hidup. Menurut QS. Al-Baqarah:143, umat Islam diharapkan menjadi masyarakat pertengahan yang memperhatikan kebutuhan spiritual dan moral orang lain. Seperti yang dinyatakan dalam QS. An-Nahl:125, dakwah harus dilakukan dengan hikmah dan nasihat yang baik, agar pesan agama dapat diterima dengan hati yang lapang tanpa paksaan atau kekasaran. Metode ini membuat pesan agama lebih mudah dipahami dan dihayati oleh mereka yang menerimanya.

Tujuan Dakwah

Membangun karakter manusia berdasarkan nilai-nilai Islam seperti kejujuran, tanggung jawab, dan kebaikan sangat penting, menurut filsafat dakwah Islam. Salah satu tujuan utama dakwah adalah karakter mulia, juga dikenal sebagai akhlaq karimah, karena mencerminkan kualitas keimanan seseorang. Sejalan dengan ajaran dan teladan Rasulullah SAW, yang menekankan pentingnya karakter baik sebagai wujud keimanan, dakwah diharapkan dapat menghasilkan umat yang memiliki etika dan integritas yang kuat.

Dakwah juga membantu membangun fondasi moral melalui nilai-nilai dasar seperti kejujuran, kasih sayang, dan keadilan. Pendidikan Islam, baik formal maupun tidak formal, menjadi sarana utama untuk menginternalisasi nilai-nilai ini, sehingga dakwah tidak hanya mengajarkan pemahaman kognitif, tetapi juga mengajarkan pemahaman etika dan moral dalam kehidupan sehari-hari. Dakwah dapat menyebarkan nilai-nilai tersebut dan membangun umat yang bertanggung jawab secara sosial dan moral dengan menggunakan media yang tepat.

Selain itu, dakwah berkontribusi pada pembentukan budaya yang menganut nilai-nilai Islam seperti keadilan dan toleransi, yang mendorong keharmonisan sosial. Dakwah membantu transformasi sosial menuju masyarakat yang lebih adil dan harmonis. Dakwah mendorong umat untuk melakukan perubahan positif, dimulai dari keluarga sebagai komponen penting masyarakat, melalui keteladanan dan tindakan nyata. Filsafat dakwah menekankan betapa pentingnya bagi umat untuk melakukan refleksi dan kesadaran diri yang mendalam agar mereka dapat memahami tujuan hidup mereka sesuai ajaran Islam.

Langkah-Langkah Penerimaan Dakwah

Menurut al-Qur'an, filosofi Islam memiliki beberapa prinsip dasar. Pertama, al-Qur'an mengajarkan manusia untuk membebaskan pikiran mereka dari belenggu taqlid atau mengikuti tanpa alasan. Ini merupakan langkah ilmiah untuk menggali kebenaran dengan menggunakan akal dan mempertanyakan keyakinan yang semata-mata diwariskan dari generasi ke generasi. Kedua, al-Qur'an mendorong proses meditasi dan mencari bukti empirik atau data ilmiah sebagai dasar penerimaan suatu gagasan, yang berarti tidak menerima pendapat tanpa bukti logis dan ilmiah (QS. Al-An'am:64; QS. Az-Zukhruf:19).

Selain itu, proses berpikir Islam melibatkan analisis, pertimbangan, dan induksi untuk menemukan kebenaran filosofis berdasarkan bukti empiris (QS. Al-A'raf:185; QS. Adz-Dzariyat:21). Selain itu, agar sesuai dengan hukum alam atau sunatullah, pengambilan keputusan juga harus didasarkan pada argumen dan bukti ilmiah daripada perasaan atau nafsu. Al-Qur'an memberi kita tiga alat utama untuk memperoleh pengetahuan: ketajaman indra, kecerdasan akal, dan kejernihan nurani yang terilhami (QS. An-Nahl:78).

Pembaruan dalam ilmu agama Islam atau Ulum al-Din, bagaimanapun, sulit dilakukan karena terdapat tantangan berupa pandangan dogmatis terhadap ajaran agama yang dianggap sempurna dan tidak dapat dipertanyakan. Banyak orang percaya bahwa ajaran yang terkandung dalam al-Qur'an dan hadis tidak memerlukan interpretasi tambahan. Akibatnya, ilmu keislaman sering dipandang sebagai sesuatu yang harus disimpan dalam bentuknya yang pertama. Sudut pandang konservatif ini seringkali menghambat kemajuan ilmu keislaman yang kontekstual dan relevan dengan kemajuan zaman. Diharapkan bahwa ilmu-ilmu agama Islam akan dapat berkembang secara dinamis sambil mempertahankan esensi ajarannya dengan menggunakan pendekatan yang bijak dan kontekstual.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline